Kamis, 16 Februari 2023 08:57 WIB

Terapi Depresi pada Pasien Epilepsi dan Migrain

Responsive image
840
apt. Nur Aini Fatmawati, S.Farm - RS Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang

Migrain dan epilepsi merupakan penyakit yang dapat menyertai satu dengan lainnya. Migrain dapat menyebabkan epilepsi dan begitu pula sebaliknya. Rendahnya ambang kortikal pada migrain menjadi pemicu epilepsi disertai adanya gangguan mitokondrial, metabolisme magnesium, dan perubahan pada kanal ion. Epilepsi dapat menyebabkan migrain melalui aktivasi trigeminovaskular memicu pelebaran pembuluh darah dan timbul nyeri. Pasien epilepsi dengan migrain dapat diberikan terapi antiepilepsi yang memberi efek pencegahan migrain seperti topiramat, valproat, dan carbamazepin.

Depresi dapat menyertai pasien epilepsi dan migrain yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan mempengaruhi efektivitas terapi. Struktur serebral yang abnormal, gangguan jalur monoamin, metabolisme glukosa di otak, hipotalamus-pituitari-adrenal-axis, dan interleukin 1b menjadi penyebab depresi pada pasien epilepsi. Obat-obatan antiepilepsi seperti fenitoin dan topiramat dapat menyebabkan efek depresi. Gejala depresi dapat ditandai dengan perasaan sedih, menurunnya gairah terhadap aktivitas sehari-hari, kesulitan tidur, penurunan nafsu makan, dan keinginan melukai diri. Depresi yang tidak teratasi dapat memicu dan memperberat migrain dan epilepsi.

Gejala depresi yang timbul dapat diatasi dengan psikoterapi sebagai lini pertama. Psikoterapi merupakan metode yang dilakukan psikiater atau psikolog untuk mengenali kondisi, perasaan, dan pikiran yang menyebabkan keluhan serta membantu pasien untuk membentuk perilaku positif terhadap permasalahan yang dihadapi. Jika psikoterapi tidak mampu mengatasi depresi, maka terapi obat diperlukan bagi pasien. Obat-obatan antidepresan menurunkan ambang yang memicu eksitasi pada sel saraf yang berdampak meningkatkan frekuensi kejang dan migrain. Peningkatan kadar neurotransmiter serotonin yang merupakan efek pemberian antidepresan juga berperan menimbulkan efek samping kejang. Pemberian obat antidepresan dengan dosis tinggi dan peningkatan dosis dengan cepat menjadi faktor resiko peningkatan frekuensi kejang pada pasien. Adanya kerusakan sistem saraf pusat, hasil pemeriksaan EEG yang abnormal, riwayat keluarga epilepsi, dan gangguan psikiatri merupakan faktor resiko dari pasien yang meningkatkan potensial efek samping kejang pada pasien.

Pemberian antidepresan pada pasien epilepsi dan migrain memerlukan pertimbangan manfaat dan resiko. Antidepresan yang digunakan memiliki profil keamanan yang paling baik bagi pasien epilepsi dan migrain. Antidepresan golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) terdiri dari sertraline, escitalopram, fluoxetine, dan fluvoxamine berpotensi rendah menurunkan ambang kejang dan profil efek samping lebih rendah dibanding antidepresan lain. Sertraline dan escitalopram merupakan pilihan pertama bagi pasien epilepsi dengan gejala depresi. Sertraline tidak berinteraksi dengan antiepilepsi dan lebih aman karena efek memicu kejang lebih rendah. Namun, beberapa pasien dapat mengalami toleransi dengan sertraline yang membutuhkan dosis lebih tinggi untuk mencapai efek terapi. Fluoxetine dan fluvoxamine dapat berinteraksi dengan obat antiepilepsi sehingga perlu monitoring potensial interaksi obat ketika obat diberikan bersama.

Antidepresan golongan selective norephineprine reuptake inhibitor (SNRI) seperti venlafaxine dan duloxetine dapat diberikan ketika respon terhadap SSRI tidak optimal. Venlafaxine juga efektif mengatasi depresi tanpa memicu kejang. Jika SSRI dan SNRI tidak tersedia, maka tricyclic antidepressant (TCA) dapat diberikan sebagai alternatif. Namun, TCA menyebabkan efek samping yang lebih besar dan resiko toksisitas pada jantung ketika diberikan melebihi dosis terapi. Monitoring kadar obat dalam plasma diperlukan pada pasien epilepsi yang mendapat TCA.

Terapi antidepresan dimulai dengan dosis terendah yang efektif bagi pasien. Dosis dapat ditingkatkan secara perlahan hingga tercapai respon terapi yang diharapkan. Durasi pemberian antidepresan selama 6 bulan terhitung setelah gejala teratasi. Durasi pemberian dua tahun apabila pasien mengalami gejala depresi berulang. Efek terapi dari antidepresan akan timbul dalam waktu 3-6 minggu setelah pemberian. Pada awal pemberian terapi, pasien akan merasakan cemas. Pemberian obat benzodiazepin dalam jangka pendek akan mampu mengatasi masalah tersebut.

Pasien epilepsi dan migrain yang mendapat obat antidepresan harus dalam kondisi stabil. Ketika terjadi peningkatan frekuensi kejang, dosis antidepresan perlu diturunkan dan dosis antiepilepsi perlu diatur untuk mencegah serangan epilepsi dan migrain. Pasien dan keluarga perlu mendapat edukasi tentang peningkatan frekuensi kejang yang dapat terjadi. Pasien perlu menghindari aktivitas yang berbahaya ketika terjadi gangguan kesadaran seperti berkendara, menghidupkan mesin, dan menyalakan api. Setiap terjadi serangan epilepsi dan migrain setelah mendapat antidepresan, pasien dan keluarga harus segera berobat ke dokter.

 

Referensi :

Ji Yuan Ong, Jonathan. 2017. Migraine Treatment: Current Acute Medications and Their Potential Mechanism of Action. The American Society for Experimental NeuroTherapetics

Kwon, Oh-Young. 2014. Depression an Anxiety in People with Epilepsy. Korean Neurological Association : Jinju

M. Kanner, Andres. 2016. Most Antidepressant Drugs are Safe for Patients with Epilepsy at Therapeutic Doses : A Review of The Evidence. Elsevier : Miami

Sprenger, Till et al. 2018. Current Prophylactic Medications for Migraine and Their Potential Mechanism of Action. The American Society for Experimental NeuroTherapetics