Senin, 06 Februari 2023 14:14 WIB

Penggunaan Terapi Suplementasi Testosteron pada Kondisi Hipogonadisme

Responsive image
1589
Wira Gotera - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Hipogonadisme merupakan suatu kondisi klinis dimana  kadar hormon testosteron serum yang rendah berkaitan dengan tanda dan gejala yang spesifik seperti hilangnya libido dan vitalitas, disfungsi ereksi, sulitnya mencapai dan mempertahankan orgasme, hilangnya energi, rasa lelah,  berkurangnya massa otot dan densitas tulang, mood depresif, gangguan kongnisi,  dan anemia.  Prevalensi hipogonadisme meningkat seiring usia (1,2).

Hipogonadisme yang terjadi pada pria usia tua seringkali disebut andropause atau defisiensi androgen. Penyebab hipogonadisme dapat diklasifikasikan menjadi primer (fungsi sel leydig yang tidak adekuat), sekunder (stimulasi LH pada testis yang tidak adekuat) atau keduanya (1) . 

Perhatian terhadap efek hipogonadisme meningkatkan penggunaan testosteron sebagai terapi sulih hormon. Terapi terstosteron pada pria dengan hipogonadisme memang memberikan beberapa manfaat seperti meningkatkan libido, densitas tulang, massa otot, komposisi tubuh, mood, eritropoesis dan kognisi, namun terdapat beberapa kontroversi terkait indikasi suplementasi testosteron. Topik paling kontroversial pada terapi sulih hormon testosteron adalah mengenai risikonya (3). 

Terdapat beberapa preparat testosteron yang tersedia saat ini. Testosterone enanthate dan testosterone cypionate tersedia dalam bentuk larut minyak untuk injeksi. Dosis tipikal adalah 100 mg perminggu atau 200-300 mg tiap 2-3 minggu. Kadar puncak tertinggi tercapai 2-5 hari setelah injeksi , kadar akan kembali ke baseline 10-14 hari setelah injeksi. Keuntungan bentuk terapi ini adalah biaya yang rendah dan tercapainya kadar serum testoseron yang tinggi. Kerugiannya antara lain nyeri, perlunya kunjungan berulang untuk penyuntikan dan fluktuasi kadar testosteron serum. Testosteron transdermal tersedia dalam  bentuk skin patch dan gel yang digunakan setiap hari. Sediaan ini memberikan konsentrasi testosteron yang stabil. Preparat oral jarang digunakan karena potensial toksik bagi hepar (4).

Risiko terapi testosteron 

1.    Penyakit arteri koroner

Studi mengenai terapi testosteron belum menunjukkan peningkatan insiden penyakit atau kejadian kardiovaskuler seperti infark miokard atau stroke. Diperlukan studi plaseco-kontrol yang lebih besar untuk melihat risiko terapi testosteron pada kejadian kardiovaskuler (5).

2.    Profil lipid

Tidak ada data yang konsisten  mengenai hubungan antara terapi testosteron dengan profil lipid. Dosis testosteron yang tinggi (600 mg/ minggu) atau suprafisiologis berkaitan dengan penurunan kadar HDL, sedangkan pada dosis terendah hanya didapatkan peningkatan HDL yang tidak signifikan.  Dosis fisiologis tidak berkaitan dengan perburukan profil lipid (6).

3.    Polisitemia

Kadar testosteron yang tinggi bekerja sebagai stimulus eritropoiesis. Laki-laki dengan hipogonadisme memiliki kadar hemoglobin yang lebih rendah dan terapi testosteron akan mengembalikan hemoglobin ke nilai normal.  Meningkatnya kadar hemoglobin pada pasien dengan hemoglobin normal, khususnya pada orang tua, akan meningkatkan viskositas darah dan risiko terjadinya penyakit vaskular. 

Kadar Hb dan Ht harus dimonitor pada pasien yang mendapat terapi testosteron sehingga dapat dilakukan intervensi yang diperlukan seperti pengurangan dosis, penundaan terapi, atau flebotomi dapat dilakukan jika terjadi eritrositosis. Belum ada laporan mengenai kejadian tromboemboli akibat testosteron (7).

4.    BPH

Terjadinya BPH memerlukan androgen, rendahnya kadar hormon testosteron akibat kimia

atau pembedahan menyebabkan berkurangnya volum prostat. Volume prostat meningkat dalam 6 bulan terapi testoteron, namun aliran urin, residu volum urin dan keluhan pengosongan vesika urin tidak berubah secara signifikan.

5.    Kanker Prostat

Saat ini tidak ada bukti kuat yang mengatakan laki laki dengan kadar testosteron yang lebih tinggi memiliki risiko kanker prostat yang lebih besar, atau memberikan testosteron pada laki laki dengan hipogonadisme meningkatkan risiko ini (8). 

Penggunaan preparat testosteron oral dikatakan memiliki efek hepatotoksik dan neoplasia, sehingga  diperlukan pemantauan fungsi liver berkala pada penggunaan preparat ini. Efek lain dari terapi antara lain keluhan nyeri pada payudara, pengecilan ukuran dan konsistensi testis. Retensi cairan dapat terjadi namun jarang dan biasanya ringan, terapi testosteron harus digunakan hati hati pada pasien gagal jantung kongestif dan insufisiensi ginjal.

Monitor Terapi Testosteron

Sebelum memulai terapi , dilakukan pemeriksaan PSA, hemoglobin, hematokrit, rectal toucher, dan pengukuran International Prostatic Symptoms Score. Setelah terapi dimulai direkomendasikan untuk follow up seriap 1 sampai 2 bulan untuk melihat efektivitas dan efek samping terapi.

Di setiap kunjungan harus dilakukan penilaian terhadap efektivitas terapi secara subyektif, keluhan berkemih dan sleep apnea.  Dilakukan pengukuran kadar testosteron dengan target  pertengahan atau batas atas nilai normal, namun jika pasien memberikan respon klinis yang baik, penyesuaian dosis tidak perlu dilakukan walaupun kadarnya belum mencapai target. 

Harus dilakukan pemantauan ketat terhadap kemungkinan terjadinya kanker prostat, semua pemeriksaan rectal toucher abnormal atau peningkatan kadar PSA harus dilakukan biopsi prostat sebelum memulai terapi testosteron.

Pada pasien yang sedang menjalani terapi testosteron, peningkatan PSA 0.75-1.5 ng per milliliter per tahun selama lebih dari 2 tahun merupakan indikasi biopsi prostat. Pada mereka yang menjalani biopsi awal karena peningkatan kadar PSA dasar, pengulangan biopsi dilakukan jika terdapat peningkatan kadar  PSA  sebesar 1.0 ng per milliliter jika PSA kurang dari 10 ng per milliliter atau peningkatan 20?ri nilai awal jika PSA lebih dari 10 ng per milliliter (1).

 

Referensi:

  1. Ernani Luis Rhoden, Abraham Morgentaler .  Risks of Testosterone-Replacement Therapy and Recommendations for Monitoring. N Engl J Med. 2004;350:482-92.
  2. Bruno Lunenfeld. Androgen therapy in the aging male. World J Urol.2003; 21: 292–305.
  3. Katherine Margo, Robert Winn. Testosterone Treatments:Why, When, and How? Am Fam Physician.2006;73:1591-8, 1603
  4. J. Lisa Tenover. The Androgen-Deficient Aging Male:Current Treatment Options. Rev Urol. 2003;5(suppl 1):S22–S28
  5. Hajjar RR, Kaiser FE, Morley JE. Outcomes of long-term testosterone replacement in older hypogonadal males: a retrospective analysis. J Clin Endocrinol Metab .1997;82:3793-6.
  6. Singh AB, Hsia S, Alaupovic P, et al. The effects of varying doses of T on insulin sensitivity, plasma lipids, apolipoproteins, and C-reactive protein in healthy young men. J Clin Endocrinol Metab.2002;87:136-43.
  7. Andrea D. Coviello, Beth Kaplan, Kishore M. Lakshman, et al.  Effects of Graded Doses of Testosterone on Erythropoiesis in Healthy Young and Older Men. J Clin Endocrinol Metab. March. 2008;93(3):914–919
  8. Luigi Mearini, Alessandro Zucchi, Elisabetta Nunzi et al. Low serum testosterone levels are predictive of prostate cancer. World J Urol.2013; 31:247–252