Rabu, 21 Desember 2022 21:38 WIB

Penyakit Paru yang dapat Menyertai ODHA

Responsive image
5293
dr. Mira Yuliarti, SpPD-KP - RSUP dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang dan melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia. Penularan HIV umumnya terjadi melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi, serta proses kehamilan, persalinan, dan menyusui. Infeksi HIV dapat menyebabkan Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS) yang merupakan sekumpulan gejala dan tanda infeksi yang berhubungan dengan penurunan sistem kekebalan tubuh karena infeksi HIV.

Secara global, jumlah penderita HIV terus meningkat setiap tahun. Pada akhir tahun 2021 diperkirakan 38 juta orang dewasa dan 1.7 juta anak mengidap HIV dengan angka kematian 552.000 pada dewasa dan 98.000 kematian pada anak. Pada tahun 2020, diperkirakan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia sebanyak 543.100 orang.

ODHA rentan terhadap infeksi virus, bakteri, jamur, dan parasit yang umumnya tidak menyebabkan penyakit atau hanya menyebabkan penyakit ringan pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang baik. Hal ini dikenal sebagai infeksi oportunistik, salah satunya pada paru yang merupakan penyebab kematian tertinggi pada ODHA  Infeksi oportunistik paru yang sering ditemukan pada ODHA antara lain tuberkulosis (TB), Pneumonitis jirovecii pneumonia (PCP) , cytomegalovirus dan histoplasmosis. Di era pandemi Covid19, HIV juga merupakan salah satu faktor risiko Covid berat dengan tingkat mortalitas tinggi.

Tuberkulosis (TB)

Penyakit Tuberkulosis aktif (TB), yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab kematian utama ODHA (40-50%), terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Risiko kejadian TB pada ODHA diperkirakan 16-27 kali lebih besar. Hanya sekitar 10% orang yang bukan ODHA yang saat terinfeksi TB menjadi sakit TB aktif; sedangkan pada ODHA, sekitar 60% menjadi TB aktif. TB utamanya menyebabkan penyakit paru, namun juga bisa menyebabkan penyakit pada organ lain seperti kelenjar getah bening, selaput otak (meningitis), tulang, dan lainnya. TB pada organ selain paru disebut sebagai TB ekstra paru dan kejadiannya jauh lebih tinggi pada ODHA. Atas dasar ini, setiap ODHA harus dikaji ada tidaknya penyakit TB aktif; sebaliknya, setiap orang yang terinfeksi TB juga harus diperiksa status HIV.

Pengkajian ada tidaknya penyakit TB aktif pada ODHA meliputi penilaian gejala dan dapat ditunjang dengan pemeriksaan ronsen dada. Pada ODHA, gejala TB umumnya mirip dengan TB pada orang tanpa infeksi HIV, antara lain batuk; demam hilang timbul; penurunan berat badan (BB) tanpa sebab yang jelas; keringat malam tanpa kegiatan; gejala dan tanda TB ekstra paru. ODHA yang merupakan terduga TB harus menjalani pemeriksaan sampel dahak atau dari organ lain yang dicurigai terkena TB. Jika ODHA terbukti TB aktif juga, pengobatan TB dengan kombinasi obat antituberkulosis OAT. Di sisi lain, ODHA yang tidak terbukti TB aktif harus diberikan terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) untuk mencegah terjadinya penyakit TB aktif.

Pneumocystis jirovecii Pneumonia (PCP)

Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) adalah infeksi paru oleh jamur Pneumocystis jirovecii. Jamur ini dapat ditemukan pada sekitar 20% orang dewasa, namun penyakit paru yaitu PCP dapat terjadi pada orang dengan penurunan kekebalan tubuh seperti ODHA (30-40% PCP terjadi pada ODHA). Gejala PCP dapat berupa demam, batuk kering, hingga sesak napas yang akhirnya dapat mengakibatkan gagal napas hingga kematian. PCP dapat menyerupai COVID-19 karena dapat menyebabkan penurunan saturasi oksigen tanpa disertai sesak napas yang sebanding (happy hypoxia) dan juga memiliki gambaran radiologis klasik berupa opasitas ground glass (ground glass opacities/GGO), walaupun pada PCP umumnya ditemukan pada daerah tengah (perihilar) kedua paru dan simetris. Sedangkan pada COVID-19 GGO , pada daerah dasar dan samping (basolateral). (Gambar 1) . PCP dapat didiagnosis secara definitif dengan pemeriksaan mikroskopik atau polymerase chain reaction (PCR) terhadap sampel dahak atau bilasan saluran napas bawah. Penegakan diagnosis secara presumtif dapat dilakukan jika gambaran klinis dan radiologis khas kearah PCP dan didukung dengan pemeriksaan darah (1-3-beta-D-glucan dan LDH) khususnya pada pasien dengan CD4 < 200 sel/mikroliter. Pengobatan PCP umumnya dengan antibiotik trimethoprim-sulfamethoxazole selama 21 hari.   ODHA dengan kadar CD4 < 200 sel/mikroliter dan ODHA yang menderita TB aktif disarankan untuk mendapatkan terapi profilaksis PCP.

Pneumonitis Sitomegalovirus (CMV)

Sitomegalovirus (CMV) adalah virus yang cukup sering menginfeksi ODHA terutama pada ODHA dengan CD4 < 50 sel/mikroliter. CMV tersebar pada sebagian besar populasi dunia dan dapat menular melalui kontak berulang atau berkepanjangan, termasuk hubungan seksual. Namun, infeksi CMV pada individu sehat umumnya tidak menimbulkan gejala atau penyakit seumur hidupnya. 

Infeksi CMV paling sering menginfeksi retina mata (retinitis), namun juga dapat menyebabkan penyakit pada saluran cerna, otak, dan paru (pneumonitis). Infeksi CMV pada individu dengan kekebalan tubuh menurun dapat menyebabkan sindroma CMV yang diawali dengan rasa lelah, demam, rasa tidak enak badan (malaise), mual muntah, keringat malam, dan nyeri sendi atau nyeri otot. Manifestasi CMV pada paru (pneumonitis CMV) dapat menimbulkan gejala sesak napas, penurunan kadar oksigen, dan batuk kering. Gejala, tanda, dan temuan radiologis infeksi CMV umumnya tidak spesifik, sehingga dibutuhkan pemeriksaan khusus seperti polymerase chain reaction (PCR) pada sediaan darah atau spesimen lain sesuai organ yang terkena. Pengobatan CMV adalah dengan antivirus seperti gansiklovir selama beberapa minggu.

Histoplasmosis

Histoplasmosis disebabkan oleh infeksi jamur Histoplasma capsulatum. Infeksi jamur ini terjadi karena terhirupnya komponen jamur yang teraerosolisasi dari tanah yang berhubungan dengan aktivitas seperti penggalian, pengerukan tanah, pembersihan kandang ayam, dan renovasi atau perobohan bangunan lama. Histoplasmosis pada ODHA dapat menyebabkan progressive disseminated histoplasmosis (PDH) yang melibatkan berbagai organ, paling sering di antaranya adalah paru, sumsum tulang, limpa, hati, kelenjar anak ginjal (adrenal), hingga selaput lendir.

Pada individu dengan sistem kekebalan tubuh yang baik dan paparan rendah, kebanyakan infeksi Histoplasma tidak bergejala atau ringan dan sembuh sendiri, kadang ditemukan benjolan kecil (nodul) paru pada pemeriksaan radiologis. Pada orang dengan kekebalan tubuh menurun seperti ODHA, gejala akut histoplasmosis dapat muncul dalam 1-4 minggu setelah paparan berupa penyakit seperti flu (flu-like illness) dengan demam, menggigil, berkeringat, nyeri kepala, nyeri otot, mual muntah, batuk kering, sesak, dan nyeri dada. Ronsen dada umumnya menunjukkan infiltrat interstisial difus atau retikulonodular(Gambar 2), namun temuan ini tidak spesifik. Histoplasmosis berat (PDH) dapat menyebabkan gagal napas, gangguan penggumpalan darah, hingga kegagalan multiorgan.

Diagnosis Histoplasmosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan antigen Histoplasma pada cairan tubuh seperti bilasan saluran napas bawah (bronchoalveolar lavage/BAL) untuk histoplasmosis paru dan pemeriksaan mikrobiologis (seperti pewarnaan sampel yang dilihat di mikroskop atau kultur). Pengobatan histoplasmosis umumnya dengan antijamur seperti amfoterisin B untuk kasus berat dan itrakonazol untuk kasus yang lebih ringan.

COVID-19 pada ODHA

COVID-19 memiliki spektrum penyakit yang sangat luas mulai dari tidak bergejala (asimptomatik) hingga berat dan mengancam jiwa. COVID-19 yang berat dapat menyebabkan gagal napas, kegagalan organ, hingga kematian. ODHA dengan HIV berat atau belum mendapatkan pengobatan ARV memiliki risiko yang sangat tinggi terkena COVID-19 yang berat.  Protokol kesehatan yang baik ditambah vaksinasi sangat penting dalam pencegahan penularan COVID-19. Vaksin COVID-19 tidak menggunakan virus hidup dan telah terbukti aman serta efektif, termasuk untuk ODHA. ODHA dapat menerima vaksinasi COVID-19 selama tidak ada komplikasi akut dan/atau dalam keadaan terkontrol. Jika ODHA dicurigai atau terbukti terkena COVID-19, sebaiknya berobat dan menginformasikan petugas kesehatan yang menanganinya mengenai status ODHA dan pengobatan yang didapatkan.Pengobatan COVID-19 pada ODHA pada umumnya sama dengan pasien tanpa HIV.

Pencegahan Penyakit Paru pada ODHA

Hal terpenting untuk mencegah penyakit paru pada ODHA adalah pengobatan antiretroviral (ARV) untuk menurunkan aktivitas virus dan meningkatkan kekebalan tubuh yang dinilai dengan jumlah CD4, karena kebanyakan infeksi oportunistik terjadi pada CD4 yang rendah, setidaknya <= 200 sel/uL. Selain itu, terdapat beberapa pencegahan khusus seperti pemberian obat dalam terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) untuk mencegah TB aktif dan terapi pencegahan (profilaksis) kotrimoksazol, yang salah satunya mencegah PCP. Menggunakan produk darah yang terskrining dari CMV (seronegatif CMV) pada ODHA yang membutuhkan transfusi darah dapat membantu mencegah infeksi CMV. Vaksinasi juga tersedia untuk membantu mencegah infeksi paru (pneumonia) pada COVID-19 dan pneumococcus.

ODHA memiliki sistem kekebalan tubuh yang menurun sehingga rentan terhadap berbagai penyakit paru yang merupakan salah satu penyebab utama kematian pada ODHA. Pengobatan ARV, pemberian terapi pencegahan (profilaksis) infeksi oportunistik, serta deteksi dini dan pengobatan infeksi oportunistik menjadi penting dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit paru pada ODHA. Protokol kesehatan dan vaksinasi COVID-19 juga sangat penting untuk mencegah COVID-19 pada ODHA.

 

Referensi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus, Acquired Immuno-deficiency Syndrome, dan Infeksi Menular Seksual. 2022;2003–5.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV 2019. 2019;

Central for Disease Control and Prevention (CDC). Pneumocystis pneumonia [Internet]. CDC. 2021. Available from: https://www.cdc.gov/fungal/diseases/pneumocystis-pneumonia/index.html#print

Morris A, Masur H. Pneumocystis Infections. In: Loscalzo J, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 21st ed. New York: McGraw-Hill; 2022. p. 1691–5.

Kotton CN, Hirsch MS. Cytomegalovirus and Human Herpesvirus Types 6, 7, and 8. In: Loscalzo J, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 21st ed. New York: McGraw-Hill; 2022. p. 1487–91.

Hage CA, L. Joseph Wheat. Histoplasmosis. In: Loscalzo J, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 21st ed. New York: McGraw-Hill; 2022. p. 1658–61.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). HIV and COVID-19 Basics [Internet]. CDC. 2022 [cited 2022 Nov 28]. Available from: https://www.cdc.gov/hiv/basics/covid-19.html

Burhan E, Susanto AD, Nasution SA, Ginanjar E, Wicaksono C, Susilo A  et al. Pedoman Tatalaksana COVID-19. 4th ed. Burhan E, Susanto AD, Isbaniah F, Nasution SA, Ginanjar E, Pitoyo W  et al., editor. Jakarta: PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI, IDAI; 2021.