Rabu, 21 Desember 2022 18:31 WIB

Menghentikan Kecanduan Rokok

Responsive image
4110
Dr. dr. Kristiana Siste Kurniasanti, SpKJ(K) - RSUP dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Kebiasaan merokok yang dimiliki oleh sebagian masyarakat di Indonesia menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi tenaga medis; dimana hal ini cukup kontras dengan peran rokok pada bidang sosioekonomi. Sebagai andalan penerimaan cukai dan sektor penyedia lapangan pekerjaan terbesar di Indonesia, Industri rokok menjadi salah satu hal esensial dalam roda perekonomian negara. Berdasar laporan Kementerian Keuangan Indonesia, tercatat sebesar 95% dari target cukai negara dipenuhi oleh tembakau, dengan yang tertinggi yaitu 157 triliun rupiah pada tahun 2017. Selain terdapat sebesar 6 juta orang yang menggantungkan hidupnya di industri ini, dengan proporsi 400 ribu bekerja di sektor formal, 2,3 juta sebagai petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600 ribu buruh tembakau dan sekitar 1 juta pedagang eceran berdasar data dari Kementerian Perindustrian. Hal ini menguatkan fakta bahwa merokok merupakan hal yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia sebagai salah satu sumber penghasilan. Beriringan dengan keunggulan tersebut, rokok memiliki dampak negatif pada kesehatan, dengan menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Data terkini dari World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa rokok telah membunuh setengah dari seluruh penggunanya, yang diperkirakan lebih dari 8 miliar orang setiap tahunnya. Lebih dari 7 miliar kematian tersebut dialami oleh perokok aktif, sedangkan 1,2 miliar lainnya merupakan perokok pasif atau individu yang terpapar oleh paparan asap rokok individu di sekitarnya. Tidak jauh berbeda dengan data di dunia, sekitar 225.700 orang di Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau. Prevalensi merokok pada remaja usia 10-19 tahun meningkat dari 7,2% di tahun 2013 menjadi 9,1% pada 2018, yang menunjukkannya adanya peningkatan sebesar kira-kira 20%. Global Youth Tobacco Survey (GYTS) tahun 2019 yang dirilis pada hari ini menunjukkan bahwa 40,6% pelajar di Indonesia (usia 13-15 tahun), 2 dari 3 anak laki-laki, dan hampir 1 dari 5 anak perempuan sudah pernah menggunakan produk tembakau: 19,2% pelajar saat ini merokok dan di antara jumlah tersebut.  Sementara itu, Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021.

Jumlah perokok di dunia masih begitu banyak walau mengetahui bahwa merokok merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Sebab dari seorang individu memulai serta terjerat dalam kebiasaan merokok adalah kombinasi dari pengaruh sosial, ekonomi, personal, dan pengaruh budaya setempat. Sebagian perokok mengatakan berawal dari rasa penasaran dan hanya bermaksud coba-coba, secara progresif mereka menjadi perokok rutin, hingga mengalami kesulitan untuk berhenti merokok. Selain rasa penasaran dan ingin mencoba yang dirasakan oleh para perokok pada awalnya, iklan produk rokok rupanya juga merupakan iklan menarik yang meramaikan dunia periklanan internasional.  Industri rokok menghabiskan miliaran dolar setiap tahunnya untuk menciptakan iklan yang menarik bagi publik. Beberapa studi telah membuktikan bahwa iklan-iklan menarik tersebut telah berhasil mendorong sebagian besar penonton iklan untuk termotivasi mencoba merokok di seluruh dunia. Di samping itu, tak hanya dalam bentuk iklan, industri rokok juga terus berkembang mengikuti perubahan zaman, hingga menghadirkan e-cigarette atau rokok elektrik, dan salah satunya yang populer adalah vape. Rokok elektrik merupakan alat elektronik yang dapat diisi ulang dengan zat tembakau cair, yang bentuk serta fungsinya pun sama dengan rokok tradisional.  Ketika seorang individu telah terbiasa mengkonsumsi rokok, baik rokok tradisional maupun elektronik,  keberlanjutannya dalam merokok berkaitan dengan pola ketergantungannya terhadap tembakau, yaitu komponen utama dalam rokok yang adalah zat adiktif mengandung nikotin.  Sebuah batang rokok memiliki kurang lebih 8 mg nikotin, dan ketika dihirup maka jumlah nikotin yang terkonsumsi oleh individu perokok tersebut adalah sebesar 1-2 mg.  Kebiasaan merokok merupakan pola yang dipelajari dan dapat menjadi terbiasa pada seorang individu berdasar keputusannya sendiri.  Durasi dan frekuensi merokok seringkali berhubungan dengan kadar nikotin yang dibutuhkan seorang individu, terutama individu yang sudah mengalami ketergantungan dengan nikotin ini sehingga sulit menghentikan kebiasaan merokoknya.  Ketergantungan pada nikotin ini terjadi pada sebagian besar individu yang mulai merokok pada usia di bawah 18 tahun.  Hal ini juga berhubungan dengan maturasi pada bagian prefrontal korteks dari otak seorang remaja yang belum sempurna, sehingga berdampak pada risiko terjadinya ketergantungan zat apabila telah terhabituasi di awal oleh paparan zat adiktif.

Kondisi ketergantungan zat atau disebut juga adiksi zat atau kecanduan zat, merupakan keadaan perilaku berulang dan kompulsif akan penggunaan zat meski mengetahui dan telah mendapat dampak serta konsekuensi negatif dari penggunaannya. Adiksi juga adalah suatu keadaan mental atau emosional yang memiliki keterikatan erat dan kebutuhan akan zat tertentu. Adiksi rokok terjadi karena kandungan nikotin yang ada sehingga kondisi ini paling tepat disebut sebagai adiksi nikotin. Adiksi ini terjadi ketika tubuh beradaptasi dan berfungsi normal ketika mengalami keterbiasaan dengan zat ini ketika terhirup dari saluran napas ke paru-paru dan zat tersebut menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Pada saat awal merokok, nikotin memberikan kenikmatan dan membuat perokok mengabaikan perasaan-perasaan tidak nyaman yang dimilikinya. Hal ini mendorong seorang untuk terus merokok karena dapat memberikan kenyamanan sesaat. Semakin sering orang tersebut merokok, nikotin bekerja pada sistem saraf pusat, yaitu pada neurotransmitter dopamin (yang mengatur rasa bahagia) dan mempengaruhi mood orang tersebut. Konsumsi nikotin juga membuat terjadinya toleransi, dimana seorang tak lagi mampu mendapat kepuasan dari dosis yang biasanya telah dikonsumsi, sehingga memerlukan peningkatan dosis. Hal ini terus mendorong seorang untuk merokok lebih sering dan lebih banyak agar mendapat rasa puas serupa seperti yang telah dirasakan sebelumnya. Akibatnya, semakin banyak rokok yang dikonsumsi, permasalahan kesehatan yang dimiliki seorang pun semakin banyak. Masalah kesehatan ini meliputi masalah fisik dan mental, serta adanya suatu keadaan yang disebut kondisi putus zat (withdrawal). Gejala-gejala adiksi nikotin meliputi iritabilitas, sakit kepala, gangguan tidur, perasaan-perasaan gelisah dan tidak nyaman. Akan tetapi, meski telah mengalami gangguan berikut, seorang yang telah mengalami adiksi tidak dapat berhenti begitu saja. Ketika seorang yang telah mengalami adiksi berusaha berhenti merokok atau mengurangi asupan rokoknya, orang tersebut dapat mengalami gejala putus zat, yaitu kesemutan, keringat berlebih, mual, nyeri perut, konstipasi, kembung, nyeri kepala, batuk, nyeri tenggorokan, insomnia, cemas berlebihan, lebih sensitif, depresi, peningkatan berat badan, dan sebagainya. Berbagai keluhan ini muncul karena adanya reseptor nikotin di otak yang terbiasa terstimulasi oleh penggunaan nikotin yang sebelumnya.

Melihat besarnya bahaya merokok maka perlu ditanyakan apakah risiko yang ditimbulkan sebanding dengan manfaatnya? Berhenti merokok bukan hal yang mudah dan tentu menantang, terutama bagi perokok berat. Ada beberapa hal yang bisa diterapkan untuk membantu kemudahan dalam perjalanan berhenti merokok. Hal pertama adalah motivasi untuk berhenti. Alasan berhenti merokok merupakan sesuatu yang personal dan berbeda bagi tiap orang, bisa alasan kesehatan, finansial, teman, atau keluarga. Alasan bisa menjadi motivasi untuk berhenti dan untuk selalu menjadi pengingat ketika sedang ada trigger/pemicu untuk berhenti merokok. Setelah mengetahui alasan untuk berhenti merokok, perlu juga mengidentifikasi hal-hal yang biasanya membuat merokok, kondisi yang mendorong untuk merokok perlu dihindari atau diatasi. Misalkan dalam keadaan stres yang biasanya menjadi pemicu untuk merokok, bisa mempraktikan teknik relaksasi seperti latihan nafas, dan teknik mindfulness. Dalam perjalanan berhenti merokok juga sebaiknya tidak dilalui seorang diri, penting untuk menginfokan ke teman, kerabat, dan keluarga agar turut membantu dan mengingatkan selama perjalanan berhenti merokok. Setelah persiapan-persiapan tersebut perlu dipersiapkan juga kemungkinan munculnya gejala putus nikotin. Gejala putus nikotin timbul sebagai kompensasi otak dengan hilangnya nikotin yang biasa ada dalam jumlah banyak akibat merokok, hal itu menimbulkan kebalikan dari perasaan selama penggunaan rokok. Pengalaman putus nikotin dialami sebagai perasaan iritabel, gelisah, sulit berkonsentrasi, tidak tenang. Efek putus nikotin tersebut bukanlah hal yang nyaman dan akan menimbulkan pemikiran atau dorongan untuk merokok. Biarpun keinginan yang timbul hanya satu batang lagi, kita tetap harus menghindarinya. Akan tetapi bila telah menuruti dorongan tersebut kita harus kembali mengingatkan diri sendiri akan alasan-alasan kita berhenti merokok. Untuk meminimalisir efek putus nikotin, bisa dengan mengalihkan diri dengan kegiatan lain, misalnya mengunyah permen karet, atau mencari kesibukan yang lebih bermanfaat untuk kita. Dalam usaha berhenti merokok juga bisa dilakukan dengan bantuan profesional kesehatan psikiater. Psikiater bisa melakukan terapi yang sistematis dan menyeluruh untuk membantu proses berhenti merokok. Hingga saat ini belum ada obat yang terbukti efektif untuk menurunkan dorongan merokok. Terapi dalam bentuk obat diberikan untuk mengatasi efek dari berhenti merokok, misalnya kecemasan. Selain terapi dalam bentuk obat, psikiater akan berfokus pula pada psikoterapi, yaitu seseorang akan dibantu untuk meningkatkan motivasi berhenti merokok, menerapkan strategi untuk mengurangi atau berhenti merokok, dan mengatasi kondisi kejiwaan lainnya yang ada bersamaan dengan adiksi nikotin.

Selama dan setelah melewati perjalanan berhenti merokok, tubuh kita juga mulai berbenah dari efek negatif paparan rokok. Perbaikan pada tubuh ini terjadi di usia berapapun dan terlepas dari berapa lamanya seseorang telah merokok. Segera setelah berhenti merokok, tubuh dapat menerima lebih banyak oksigen yang membuat kita menyadari kita lebih berenergi dan lebih tidak stres. Paru-paru akan membersihkan dirinya, sampai perlahan batuk-batuk yang biasa dialami akan berkurang dan menghilang. Indera pengecap dan penghidu kita akan bekerja lebih baik karena tidak teriritasi lagi oleh zat zat yang ada pada rokok. Begitu pula dengan risiko-risiko terhadap penyakit, setahun setelah berhenti merokok risiko terkena serangan jantung berkurang 50% dibanding perokok, dalam 5-15 tahun risiko stroke, kanker nasofaring, kanker paru menurun. Selain memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh, berhenti merokok juga bermanfaat untuk kesehatan jiwa. Terdapat bukti dimana gejala depresi, ansietas, berkurang pada orang yang berhenti merokok. Dibandingkan dengan orang yang merokok, ditemukan juga perbaikan pada gejala stres, perasaan positif, dan kesejahteraan jiwanya Efek yang ditimbulkan rokok pada kehidupan seseorang cukup luas, dan sebaliknya begitu juga dengan manfaat yang didapatkan bila seseorang berhenti merokok. Berhenti merokok memang bukan suatu hal yang bisa dilakukan dalam semalam, tapi lebih tepat untuk disebut sebagai sebuah proses. Jangan sampai kalah dan kuatkan niat berhenti merokok, ingat kembali apa yang menjadi tujuan kita memulai hal ini. Dalam usaha berhenti merokok. Jika merasa membutuhkan bantuan dalam masalah adiksi nikotin ini, silahkan datang ke Klinik Kecanduan Zat dan Perilaku RSCM.

 

Referensi:

Kata Data. 2022. Cukai Tembakau, Candu Penerimaan Negara [Internet]. Berita Terkini Ekonomi dan Bisnis Indonesia - Katadata.co.id. 

World Health Organization (WHO). Tobacco [Internet]. World Health Organization. World Health Organization

Humas Litbangkes. 2022. Perokok di Indonesia Meningkat dalam 10 Tahun Terakhir [Internet]. Badan Litbangkes. 

World Health Organization (WHO). Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2020 [Internet]. World Health Organization. World Health Organization

Jarvis MJ. 2004. Why people smoke. BMJ.Jan 31;328(7434):277-9. doi: 10.1136/bmj.328.7434.277. PMID: 14751901; PMCID: PMC324461.

American Cancer Society. Why people start using tobacco, and why it's hard to stop [Internet]. American Cancer Society.

Winters KC, Arria A. 2011. Adolescent Brain Development and Drugs. Prev Res. 2011;18(2):21-24. PMID: 22822298; PMCID: PMC3399589.

Baker TB, Breslau N, Covey L, Shiffman S. DSM criteria for tobacco use disorder and tobacco withdrawal: A Critique and proposed revisions for DSM-5*. Addiction. 2012;107(2):263–75.  

Delva NJ. Smoking cessation: the psychiatrist's role. J Psychiatry Neurosci. 2008 Sep;33(5):E1-E2. PMID: 18787657; PMCID: PMC2527716.

U.S. Department of Health and Human Services. Smoking Cessation: A Report of the Surgeon General. Atlanta, GA: U.S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Office on Smoking and Health, 2020.