Kamis, 15 Desember 2022 11:40 WIB

Si Gendut Lucu: False Self-Love

Responsive image
497
Diano Ramadhan Fauzan - RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta

Akhir-akhir ini di media sosial sering timbul tanda pagar self-love, body positivity, body love, untuk foto diri. Banyak akun yang tampak berat badannya berlebih. Kolom komentar atau balas di media sosial tersebut banyak yang mendukung si pemilik akun seraya mendorongnya untuk tetap percaya diri walaupun berat badan berlebih. Namun, tak jarang juga mengomentari hal yang sebaliknya. Jadi, bagaimana seharusnya menanggapi hal ini?

Berdasarkan data RISKESDAS 2018, sekitar 28% orang dewasa di Indonesia obesitas. Obesitas menurut WHO (2000) adalah penumpukan lemak akibat ketidakseimbangn asupan energi dengan energi yang digunakan dalam waktu yang lama. Obesitas diukur melalui perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan membagi berat (kg) dengan kudrat tinggi badan (m). Dikatakan obesitas bila hasil IMT ≥ 25 kg/m2 (1). Sejumlah masalah dapat ditimbulkan dari kondisi ini (2). Kolesterol tinggi, hipertensi, gangguan siklus menstruasi, peningkatan resiko diabetes, stroke dan serangan jantung, pankreatitis, batu empedu, perlemakan hati, dan nyeri sendi kronis (1).

Tahun 1969 ketika banyak orang gemuk di Amerika Serikat diperlakukan secara tidak adil. Mereka membuat perkumpulan untuk menyuarakan ketidakadilan tersebut. Lama kelamaan perkumpulan tersebut makin besar dan merambah negara lain yaitu Inggris. Di media banyak aktivis menyuarakan bahwa industri diet merupakan penipuan, melakukan parade, dan protes di depan gym dengan slogan fatphobic. Tahun 2000an internet mulai merajalela dan gerakan ini mulai masuk ke dunia maya, membentuk forum dan diskusi. Tak jarang serangan cyberbully terjadi akibat kenanoniman di dunia maya. Gerakan tersebut bertambah besar dengan slogan dan tagar body positivity, body love, self-love dan lain-lain(3).

Obesitas sudah seharusnya dipandang sebagai sebuah penyakit Bukti-bukti buruknya efek obesitas seharusnya sudah cukup membuat penderitanya mencari pengobatan. Namun, hal ini tidak mudah dengan pengaruh internet yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Body positivity berpotensi menjadi toxic positivity akibat dilema mengenai kampanye dari gerakan body positivity dan fakta medis. Jadi, sangat penting bagi kita untuk menyadari bahaya obesitas tanpa mengindahkan body positivity.

Penyebab obesitas merupakan multifactorial, mulai dari genetik, gaya hidup, asupan kalori tidak seimbang, stres, serta lingkungan. Maka dari itu, penatalaksanaannya pun menyasar faktor-faktor tersebut. Olahraga aerobic teratur 150 menit seminggu disertai pola makan dengan defisit kalori merupakan salah satu faktor penting untuk menurunkan berat badan. Jika terdapat kesulitan dalam menurunkan berat badan, anda dapat menghubungi dokter untuk merencanakan penurunan berat badan. Karena, dengan penurunan berat badan 5-10% dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler(4).

 

Referensi:

Kemenkes, 2018 [Internet]. [cited 2022 Oct 19]. Available from: https://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/N2VaaXIxZGZwWFpEL1VlRFdQQ3ZRZz09/2018/02/FactSheet_Obesitas_Kit_Informasi_Obesitas.pdf

Powell-Wiley TM, Poirier P, Burke LE, Després JP, Gordon-Larsen P, Lavie CJ, et al. Obesity and Cardiovascular Disease: A Scientific Statement From the American Heart Association. Circulation. 2021 May 25;143(21):e984–1010.

The history of the body positivity movement - BBC Bitesize [Internet]. [cited 2022 Oct 19]. Available from: https://www.bbc.co.uk/bitesize/articles/z2w7dp3

Obesity and Heart Disease: What You Should Know [Internet]. Cleveland Clinic. [cited 2022 Oct 19]. Available from: https://my.clevelandclinic.org/health/articles/17308-obesity--heart-disease

Sumber gambar: freepik.com