Rabu, 30 November 2022 08:59 WIB

Mengenal Cacar Monyet Sebagai Darurat Kesehatan Global

Responsive image
567
Dr, Risa Miliawati Nurul Hidayah, dr., Sp.KK(K)-dr - RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung

Penyakit cacar monyet merupakan penyakit yang disebabkan infeksi virus monkeypox. Virus ini merupakan anggota genus Orthopoxvirus dari keluarga Poxviridae. Cacar monyet bukan penyakit yang baru ditemukan. Cacar monyet pertama kali ditemukan pada tahun 1970 di Kongo, kemudian menyebar di beberapa wilayah di Afrika, terutama Afrika Tengah dan Barat. Penyakit ini sempat menjadi wabah di Amerika Serikat pada tahun 2003 dan Nigeria pada tahun 2017. Pada tahun 2019, satu kasus cacar monyet ditemukan di Singapura. Sejak 1 Januari 2022, dilaporkan terdapat 51.163 kasus terkonfirmasi, 302 kasus probabel, dan 17 kasus kematian dari 102 negara.Kasus cacar monyet terbanyak terdapat di Amerika Serikat, Spanyol dan Brazil, sedangkan di Indonesia saat ini terdapat 1 kasus terkonfirmasi.

Gejala penyakit cacar monyet terdiri atas fase akut dan fase ruam. Fase akut berlangsung dalam 5 hari pertama, dengan gejala berupa demam, nyeri kepala hebat, pembengkakan di daerah leher, ketiak atau selangkangan/lipat paha, nyeri punggung, nyeri otot, dan lemah badan. Fase ruam timbul mulai 1 – 3 hari setelah demam, lebih kurang selama 10 hari.  Ruam kulit biasanya dimulai dari wajah kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya secara bertahap dan berkembang mulai dari bintik merah seperti cacar, lepuh kecil berisi cairan bening, lepuh kecil berisi nanah, kemudian mengeras menjadi keropeng lalu rontok.

Ruam akan mengenai daerah wajah (95% kasus), telapak tangan dan kaki (75% kasus), mulut (70% kasus), kemaluan (30% kasus), dan mata (20%). Seseorang berpotensi menularkan penyakit ini hingga semua keropeng menghilang dan rontok. Waktu yang diperlukan dari ruam untuk menjadi keropeng, hilang, dan rontok adalah 3 minggu. Penyakit ini biasanya berlangsung selama 2−4 minggu. Pembesaran kelenjar berupa benjolan pada leher dapat menjadi gejala yang khas untuk membedakan cacar monyet dengan penyakit lain yang serupa, seperti cacar air, dan campak.

Seseorang dinyatakan mengalami cacar monyet apabila didapatkan hasil positif dengan pemeriksaan laboratorium real-time polymerase chain reaction (PCR) dan/atau sekuensing terhadap apusan dari permukaan ruam, cairan dalam bruntus, dan/atau keropeng. Saat ini di Indonesia terdapat dua tempat untuk pemeriksaan sampel PCR, yaitu di Pusat Studi Satwa Primata, LPPM IPB, JIn. Lodaya Il No.5, Bogor, 16151 dan Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Prof. Sri Oemiyati Kompleks Pergudangan Kemenkes Gedung 01, Jalan Percetakan Negara Il no 23, Jakarta, 10560.

Seseorang yang dicurigai mengalami penyakit cacar monyet harus segera dilakukan karantina, pengobatan, dan pemeriksaan sampel. Karantina bisa dilakukan secara mandiri, terpusat maupun di rumah sakit. Pasien cacar monyet tidak selalu harus dirawat di rumah sakit, dapat dilakukan karantina di rumah apabila tempat memadai.

Sampai saat ini belum ada pengobatan yang spesifik ataupun vaksinasi yang tersedia untuk cacar monyet. Vaksin dengan vaccinia virus yang dilemahkan (galur Ankara) telah disetujui untuk pencegahan cacar monyet pada tahun 2019, namun belum tersedia secara luas. Penyakit cacar monyet dapat sembuh sendiri dan hilang dengan sendirinya. Pengobatan hanya bertujuan untuk meringankan keluhan yang muncul (mempercepat penyembuhan ruam kulit, mencegah demam, mengurangi kehilangan cairan, mengurangi nyeri, mencegah timbulnya jaringan parut, hingga mencegah terjadinya infeksi bakteri). Beberapa hal harus diperhatikan dalam perawatan kelainan kulit cacar monyet. Beruntus, gelembung maupun lenting tidak boleh dipencet ataupun digaruk karena dapat meningkatkan risiko penyebaran ke area lain. Apabila terdapat lenting berisi nanah, maupun luka lecet bisa diberikan obat antibiotik oles (krim natrium fusidat cream atau krim mupirosin). Kelainan kulit berupa keropeng bisa diberikan kompres cairan infus (NaCl fisiologis) sehari sekali.

Orang dengan cacar monyet dapat menularkan penyakit ini ke orang lain, ketika bergejala, lebih kurang dua sampai empat minggu. Penularan kepada manusia terjadi apabila terkena percikan air liur saat bersin atau batuk, cairan tubuh, atau ruam kulit, termasuk nanah atau darah dari bruntus atau keropeng.  Penyakit ini dapat pula menular melalui benda yang telah terkontaminasi virus dari orang yang terinfeksi, seperti pakaian, tempat tidur, handuk atau peralatan makan/piring. Virus masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang luka/terbuka (walaupun tidak terlihat), saluran pernapasan, atau selaput lendir (mata, hidung, atau mulut). Penularan dari hewan ke manusia dapat terjadi melalui gigitan atau cakaran, dan konsumsi daging hewan liar yang terinfeksi virus monkeypox. Menghindari kontak dengan sumber penularan, mengonsumsi daging hewan liar, serta menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat seperti cuci tangan dengan air dan sabun atau menggunakan pembersih tangan berbahan dasar alkohol, merupakan hal yang penting dalam mencegah penularan cacar monyet.

 

Referensi:

WHO. Module 2. Clinical diagnosis, surveillance, and laboratory investigation – unit B specimen collection & transport. 2021.

Sinto R, Shakinah S, Pitawati NL, Hartono TS, Sitompul PA, dkk. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Monkeypox. Kementerian Kesehatan RI – Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2022.

Monkeypox. WHO. 2022. Diakses dari: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/monkeypox 

2022 Monkeypox Outbreak: Global Trends. WHO. 2022. Diakses dari: https://worldhealthorg.shinyapps.io/mpx_global/ 

Haddock ES, Friedlander SF. Poxvirus infection. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, dkk., penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. New York: McGraw Hill; 2019. Halaman 3079-80.

Oza VS, Mathes EF. Exanthematous viral diseases. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, dkk., penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. New York: McGraw Hill; 2019. Halaman 2990

Levin MJ, Schmader KE, Oxman MN. Varicella and herpes zoster. Dalam: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, dkk., penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. New York: McGraw Hill; 2019. Halaman 3040.