Selasa, 29 November 2022 15:01 WIB

Diet dan Olahraga pada Penderita Osteoporosis

Responsive image
2748
Sumartini Dewi dan Nanny NM Soetedjo - RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung

Apa itu Osteoporosis?
Osteoporosis adalah kondisi penyakit tulang yang ditandai dengan penurunan kekuatan tulang sehingga cenderung lebih mudah patah dibandingkan kondisi normal (fraktur patologis). Hal ini didasari adanya perubahan proses fisiologi pada tubuh manusia yang melibatkan ketidakseimbangan antara pembentukan dan resorpsi (penyerapan kembali) tulang, dimana resorpsi akan lebih tinggi dibandingkan proses pembentukan tulang. Pada akhirnya akan terjadi penurunan massa tulang dan pengeroposan.

Apa Saja Faktor Risiko Osteoporosis?
Faktor risiko terjadinya osteoporosis dapat dibagi menjadi faktor risiko yang dapat diubah (dimodifikasi) atau yang tidak dapat diubah. Contoh faktor risiko yang tidak dapat diubah adalah faktor peningkatan usia (lansia), jenis kelamin perempuan, serta adanya riwayat keluarga yang menderita osteoporosis. Di sisi lain, faktor risiko yang dapat diubah meliputi konsumsi alkohol secara berlebihan, penderita penyakit ginjal kronik, penyakit hati, hipertiroidisme, perokok, kekurangan asupan vitamin D (baik dari suplemen maupun berjemur) dan kalsium, berat badan yang kurang (bandingkan dengan obesitas yang lebih umum pada kasus osteoarthritis/pengapuran sendi), konsumsi minuman bersoda secara berlebihan, serta konsumsi obat-obatan tertentu (sering disebut sebagai osteoporosis sekunder). Contoh obat yang paling sering menjadi faktor yang memicu osteoporosis adalah steroid jangka panjang (khususnya pada penderita lupus eritematosus sistemik), obat anti epilepsi, kontrasepsi hormonal, serta hormon tiroid.

Bagaimana Tanda dan Gejala Osteoporosis?

Pasien osteoporosis cenderung tidak mengalami keluhan hingga terjadinya suatu proses fraktur/patah tulang. Namun setelah terjadi fraktur, akan muncul gejala sesuai lokasi fraktur (lokasi utama di leher tulang paha, tulang belakang bagian dada (torakal) dan pinggang (lumbal), serta distal radius). Keluhan tersebut meliputi nyeri pinggang bawah, penurunan tinggi badan, ketidakmampuan berdiri dan berjalan, serta kifosis (membungkuk). 1 Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya gangguan pada gaya berjalan, tanda deformitas tulang (contoh: kifosis), ketidakseimbangan panjang kaki, protuberansia abdomen (perut seakan-akan maju), spasme (ketegangan) otot paravertebral (sekitar tulang belakang), nyeri tulang/deformitas pasca fraktur, serta kulit yang tipis.

Apa Pemeriksaan yang Dapat Dilaksanakan untuk Mendeteksi Osteoporosis?
Secara umum pemeriksaan terkait osteoporosis meliputi pemeriksaan radiologis (foto polos tulang dan Dual Energy X-Ray Absorptiometry) serta laboratorium penanda osteoporosis. Dual Energy X-Ray Absorptiometry dipergunakan untuk mengukur kepadatan tulang (Bone Mineral Density/BMD) dan menjadi standar emas dalam diagnosis osteoporosis. Pemeriksaan ini dilaksanakan pada beberapa tulang seperti tulang belakang (L1,-L4), tulang panggul (leher paha/femur), maupun lengan bawah (bila tulang belakang dan/atau panggul tidak dapat diukur). Sementara itu, pemeriksaan laboratorium biokimia tulang dapat dilakukan dari sampel serum, osteocalcin, serta urine. Tujuannya adalah untuk menilai turnover tulang. 


Olahraga untuk penderita osteoporosis
Aktivitas fisik merupakan salah satu upaya utama untuk mencegah terjadinya osteoporosis maupun menghambat pemburukan penyakit yang tengah berlangsung. Dampaknya dinyatakan lebih bermanfaat terhadap kepadatan tulang vertebra lumbalis dibandingkan pada panggul. Selain itu, program Latihan dengan dosis lebih tinggi (frekuensi dan waktu), melibatkan kombinasi latihan dan aktivitas resistensi ditemukan lebih efektif. 


Bentuk olahraga ini dapat dilihat pada bahasan di bawah ini :
1. Aerobik tanpa beban (non-weight bearing), seperti berenang dan bersepeda. Olahraga jenis ini cenderung mengarah pada tingkat BMD yang lebih rendah dibandingkan olahraga dengan beban, sehingga disarankan untuk menambahkan olahraga alternatif seperti angkat besi, pliometrik (melompat), atau olahraga beban lainnya untuk mencegah hilangnya kepadatan tulang, terutama pada laki-laki pesepeda. Pada perempuan pasca menopause, berjalan dapat membantu menjaga BMD di tulang femur dan leher femur, namun tidak di area lain seperti tulang belakang dan tulang
radius (pengumpil) di tangan, atau secara umum di seluruh tubuh. Namun, pada pelari lansia, nilai BMD total berbeda signifikan dengan kontrol sedentary (tidak beraktivitas fisik) dengan dampak yang juga positif pada tulang belakang, selain leher femur. 
2. Latihan resistensi seperti berlari dan melompat (impact) dapat meningkatkan metabolisme tulang dan mencegah fraktur melalui mekanisme anti gravitasi dan beban otot yang diperantarainya. yang melibat, dibandingkan angkat besi (no impact). Namun demikian, olahraga no impact dengan intensitas tinggi memberi dampak positif lebih besar terhadap BMD di leher femur. Sementara, pada BMD tulang belakang, kombinasi olahraga resistensi, aerobik, dan impact dapat memberikan
manfaat yang paling baik sehingga paling direkomendasikan. Olahraga resistensi ini juga bermanfaat bahkan pada lansia yang telah menderita osteoporosis atau osteopenia untuk meningkatkan fungsi fisik dan aktivitas harian. Program olahraga yang direkomendasikan adalah aktivitas resistensi intensitas sedang-tinggi sebanyak 2-3 kali seminggu, yang dapat ditingkatkan menjadi 4 kali seminggu untuk menjaga atau meningkatkan BMD pada panggul dan femur. Penguatan otot ekstensor panggul juga bermanfaat untuk mencegah patah tulang belakang. 
3. Olahraga keseimbangan dan propriosepsi. Melalui proses re-edukasi gaya berjalan, postur tubuh dapat meningkat sehingga terjadi penurunan risiko jatuh, peningkatan kapasitas fungsional, keseimbangan dinamik, dan kualitas hidup dibandingkan kontrol yang melaksanakan kegiatan ini, terutama pada perempuan pasca menopause. Olahraga ini dapat dilaksanakan di kolam renang karena adanya tantangan tambahan untuk menjaga keseimbangan. Latihan Tai Chi juga dapat membantu dalam meningkatkan kekuatan otot ekstensor lutut, keseimbangan statik, risiko jatuh, dan
stabilitas tubuh. 
4. Whole body vibration. Getaran mekanik dapat membantu mempertahankan mikroarsitektur tulang, meningkatkan kepadatan tulang, meningkatkan kekuatan tulang, serta mencegah hilangnya massa tulang. Teknik getaran ini umumnya dilaksanakan dengan frekuensi dan intensitas rendah (30 Hz, 0.2g) dan efektivitasnya terutama tampak pada tulang femur. 
5. Olahraga air. Olahraga dalam air cenderung memberikan beban yang lebih rendah, sehingga kurang osteogenik seperti olahraga impact yang disebutkan di atas, terutama pada anak, dewasa muda, maupun lansia. Namun demikian, berenang tetap mampu mempertahakan BMD disertai dengan peningkatan struktur dan kekuatan tulang, sebagaimana ditandai dengan peningkatan kadar biomarka pembentukan tulang (P1NP) dan penurunan penanda resorpsi tulang (CTx), khususnya pada trokanter femur.

Bagaimana olahraga dapat membantu mencegah atau menjaga massa tulang? Pada dasarnya, tulang membutuhkan beban yang diberikan, baik akibat gravitasi dan tekanan mekanis yang diberikan oleh otot sehingga dapat mempertahankan kekuatan struktural dan fungsionalnya. Hal ini telah diamati seperti pada kelompok astronot atau pasien yang mengalami kelumpuhan dan tidak mendapatkan stimulasi mekanis sehingga berisiko terjadi osteoporosis. Adanya stresor beban tersebut akan mengaktivasi osteosit, suatu sensor mekanik utama pada tulang melalui adanya "aliran cairan yang dihasilkan oleh stresor" dalam tulang. Hal ini terbukti dengan peningkatan mediator kimia intraseluler dan ekstraseluler setelah peregangan tulang seperti pembentukan siklooksigenase-2 (COX-2) dan pelepasan prostaglandin. 
Diet untuk Penderita Osteoporosis
Elemen terpenting untuk menjaga kesehatan tulang adalah dengan asupan kalsium yang memadai. Diet sehat yang mengandung kalsium sebesar 1.200 mg/hari berhubungan secara langsung dengan tingkat kepadatan massa tulang (BMD). Di sisi lain, kekurangan kalsium dapat meningkatkan risiko osteoporosis, khususnya pada lansia. Selain itu, vitamin D adalah nutrisi penting lainnya bagi tulang, baik yang bersumber dari internal tubuh manusia (diaktivasi oleh sinar matahari) maupun eksternal (suplemen). Kebutuhan harian vitamin D adalah 600 IU. Bila kadar serum vitamin D kurang dari 20 ng/ml dapat terjadi penurunan kepadatan tulang dan meningkatkan risiko fraktur. Kalium juga terbukti dapat menurunkan intake asam dan hilangnya kalsium dari tulang. Kekurangan vitamin K dan magnesium (dapat menginduksi proliferasi osteoblast) berkorelasi dengan penurunan BMD dan peningkatan risiko osteoporosis. Tembaga dan zink digunakan sebagai ko-faktor dalam pembentukan
kolagen dan elastin, dan mineralisasi tulang. Dengan demikian, bila terjadi kekurangan unsur- unsur ini dapat terjadi gangguan proses penggabungan mineral ke dalam matriks tulang. 6
Di sisi lain, adanya kandungan fosfor yang tinggi dapat merusak jaringan tulang. Rasio fosfor terhadap kalsium harus dijaga agar berada pada rentang yang dapat diterima, yaitu 0,5-1,5:1. Selain itu, asupan protein yang berlebihan dapat menyebabkan ekskresi kalsium melalui urine dan menghilangkan massa tulang. Walaupun demikian, protein sebenarnya memiliki peranan sangat penting dalam pembentukan tulang, terutama melalui kemampuannya untuk mengatur sekresi dan aksi insulin-like growth factor I (IGF-I).
Rekomendasi asupan protein adalah sebesar 1.0–1.2 g/kg berat badan/hari pada penderita osteoporosis, dengan 20–25 g di antaranya berupa protein berkualitas tinggi setiap waktu makan utama. Studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan terbalik antara lemak jenuh dan BMD, dimana konsumsi lemak jenuh secara berlebihan akan berkontribusi pada penurunan massa tulang. 
Lantas, apa saja makanan yang dapat dikonsumsi? Ikan dan makanan laut adalah opsi yang baik untuk mencegah proses inflamasi dan menjaga kesehatan tulang dengan kandungan asam lemak tak jenuh ganda, terutama asam lemak omega 3. Selain itu, ikan dengan daging gelap kaya akan vitamin D dan dinyatakan dapat menurunkan risiko patah tulang pinggul.
Sumber protein berkualitas tinggi dapat berasal dari daging, telur, produk susu, serta ungags, dan manfaatnya ditemukan untuk menyebabkan pembentukan dan perawatan matriks tulang. Susu, yogurt, dan keju juga dapat diberikan karena sudah lama diketahui membantu menjaga kepadatan tulang karena kalsium yang dimiliki. Buah-buahan, sayuran, dan kacang-kacangan mengandung mikronutrien penting, seperti kalium dan magnesium, yang telah dikaitkan dengan peningkatan kepadatan mineral tulang. Namun demikian, diet vegetarian dikaitkan dengan ketidakcukupan nutrisi penting untuk kesehatan tulang sehingga kelompok tersebut memiliki tingkan kepadatan mineral tulang yang lebih rendah dan risiko patah tulang lebih tinggi dibandingkan non-vegetarian. Konsumsi probiotik dapat mengubah kadar vitamin D (25(OH)D) dan absorpsi kalsium dan menurunkan proses hilangnya massa tulang pada wanita pasca menopause. 
Sementara itu, sejumlah bentuk makanan dan minuman dapat menimbulkan efek negatif pada kepadatan mineral tulang dan mengakibatkan risiko patah tulang, terutama pada wanita lansia. Konsumsi alkohol yang tinggi juga meningkatkan risiko patah tulang pinggul dan patah tulang akibat osteoporosis. Hal serupa juga berlaku terkait konsumsi teh secara berlebihan. Mengenai konsumsi kopi, temuannya masih kontroversial, baik tidak berhubungan atau menunjukkan bukti peningkatan risiko patah tulang pada wanita. Kafein dalam dosis tinggi dapat meningkatkan ekskresi kalsium urin dan berkontribusi pada risiko patah tulang. 
Kepatuhan akan pola diet sehat yang berbasis metode seperti diet Mediterania, Healthy Eating Index (HEI), Alternative Healthy Eating Index (AHEI), skor diet BMD, serta skor diet Korea dikaitkan dengan dampak baik pada kesehatan tulang. Hal tersebut tidak sejalan dengan penerapan pola diet "Barat" yang cenderung menunjukkan hubungan terbalik dengan kesehatan tulang. Intinya, makanan yang dikonsumsi terutama berupa asupan buah, sayuran, biji-bijian, unggas dan ikan, kacang-kacangan dan polong-polongan, serta produk susu rendah lemak. Hal tersebut disertai pembatasan asupan minuman ringan, makanan yang digoreng, daging dan produk olahannya, permen dan makanan penutup, serta biji-bijian olahan.

 

Referensi:
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Panduan Praktik Klinis: Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL, editors. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam lndonesia; 2015.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Osteoporosis [Internet]. 2016. p. 1–2. Available from: https://reumatologi.or.id/wp-content/uploads/2020/09/Osteoporosis.pdf
Pinheiro MB, Oliveira J, Bauman A, Fairhall N, Kwok W, Sherrington C. Evidence on physical activity and osteoporosis prevention for people aged 65+ years: a systematic review to inform the WHO guidelines on physical activity and sedentary behaviour. Int J Behav Nutr Phys Act. 2020;17(1):1–53.
Hejazi J, Davoodi A, Khosravi M, Sedaghat M, Abedi V, Hosseinverdi S, et al. Nutrition and osteoporosis prevention and treatment. Biomed Res Ther. 2020;7(4):3709–20.
Muñoz-Garach A, García-Fontana B, Muñoz-Torres M. Nutrients and dietary patterns related to osteoporosis. Nutrients. 2020;12(7):1986.
Naldini G, Fabiani R, Chiavarini M. The Role of Diet in Osteoporotic Fracture Risk. J Food Nutr Metabo. 2020;3(1):2–6.
Movassagh EZ, Vatanparast H. Current Evidence on the Association of Dietary Patterns and Bone Health: A Scoping Review. Adv Nutr. 2017;8(1):1–16.

Image Credit:

https://pixabay.com/id/illustrations/pelatihan-atlet-olahraga-bekerja-6760015/

Total Shape (https://totalshape.com/)