Senin, 21 November 2022 12:34 WIB

Tiroktoksikosis dalam Kehamilan (Bagaimana Menanganinya? Kapan Harus Dibawa ke RS/Dokter?)

Responsive image
2558
Ida Bagus Aditya Nugraha dan Wira Gotera - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Tiroid merupakan organ yang sangat penting, khususnya pada Wanita hamil. Kecenderungan meningkatnya hormone tiroid pada kehamilan seperti juga pada kondisi normal menimbulkan suatu keadaan tirotoksikosis. Seperti penjelasan pada series 01 dan 02 sebelumnya, setelah mengetahui gejala dan tanda tirotoksikosis dilanjutkan dengan melakukan tata laksana yang tepat sehingga dapat memberikan kesembuhan dan tidak kambuh lagi. Berikut kami sampaikan bagaimana para sobat sehat dapat melakukan pengobatan pada kelainan tiroid pada kehamilan.      

Tatalaksana tirotoksikosis pada kehamilan bersifat kompleks, selain Karena potensi risiko kelainan kongenital akibat terapi pada ibu, juga karena pada kehamilan trimester pertama dapat terjadi perburukan penyakit Grave, serta perlunya evaluasi TRAb pada kehamilan untuk meniai potensi efek negatif pada janin, terutama pada ibu hamil yang sebelumnya mendapat terapi radioablatif dan masih memiliki konsentrasi TRAb yang tinggi.

       Terapi medikamentosa merupakan terapi pilihan tirotoksikosis dalam kehamilan. Pemilihan jenis obat antitiroid yang akan diberikan merupakan poin krusial pertama dari tatalaksana tirotoksikosis dalam kehamilan. Baik metimazole maupun PTU memiliki potensi teratogenik, sehingga pilihan yang paling direkomendasikan adalah menunda antitiroid, jika memungkinkan, pada umur kehamilan awal saat terjadinya organogenesis (minggu ke-6 sampai dengan ke-10). Bila antitiroid perlu diberikan segera, PTU merupakan rekomendasi terapi pada trimester awal kehamilan mengingat potensi efek teratogenik yang lebih ringan dibandingkan metimazole. Dosis PTU dimulai dari dosis terkecil yang dapat mengendalikan gejala atau untuk mencapai target biokimia yang akan dibahas pada bagian berikutnya. PTU dapat digunakan pada seluruh trimester kehamilan, namun karena adanya laporan efek samping gagal hati pada pemakaian PTU jangka panjang, Food and Drug Administration Amerika merekomendasikan pemberian PTU hanya pada trimester pertama dan diganti dengan metimazole pada trimester berikutnya. Begitu pula pada ibu hamil dengan penyakit Grave yang sebelumnya mendapat terapi metimazole, obat antitiroid diganti dengan PTU selama trimester pertama kehamilan. Perlu diingat rasio potensi antitiroid antara PTU dan metimazole adalah 20:1, sehingga pasien yang awalnya memerlukan dosis PTU 100mg pada trimester pertama, selanjutnya hanya memerlukan metimazole 5 mg.

Pemberian obat antitiroid pada kehamilan juga diikuti pemantauan kadar FT4 untuk penyesuaian dosis. Pemantauan kadar FT4 selama terapi tritoksikosis dalam kehamilan mengacu pada rentang nilai normal sesuai masing-masing trimester dengan mempertimbangkan pemberian antitiroid “under treatment” untuk menjaga kondisi hipertiroid subklinis (slightly hyperthyroid), terutama pada trimester pertama. Level FT4 serum pada ibu hamil harus dipertahankan sama dengan atau sedikit lebih tinggi daripada nilai batas atas normal menurut nilai rentang normal pada kondisi tidak hamil. Hal ini untuk mencegah terjadinya hipotiroid pada fetus karena kedua obat antitiroid dapat mencapi sirkulasi plasenta, serta untuk menjaga suplai hormone tiroid maternal ke fetus karena aksis hipotalamus-pituitasri fetus baru berkembang sempurna pada sekitar minggu ke-20 kehamilan. Normalisasi kadar TSH bukan merupakan target terapi tirotoksikosis pada kehamilan, sehingga tidak perlu diupayakan untuk mencapai nilai TSH normal selama terapi. Apabila didapatkan nilai TSH yang normal selama kehamilan, dipertimbangkan untuk mengurangi dosis obat antitiroid.

Terapi medikamentosa lain seperti penyekat beta, masih diperdebatkan keamanannya hingga saat ini untuk diberikan secara rutin pada kehamilan. Namun pada kondisi gawat darurat seperti krisis tiroid, penyekat beta dapat diberikan untuk mengontrol takikardia.Yodium dapat diberikan pada ibu hamil namun tidak lebih dari 2 mingggu karena dapat mencapai sirkulasi plasenta dan menginduksi struma besar pada fetus yang berpotensi menyumbat jalan nafas jika diberikan selama lebih dari 2 minggu pada ibu. Modalitas terapi tirotoksikosis lain terbatas penggunannya dalam kehamilan, yakni radioablatif yodium yang dikontraindikasikan pada kehamilan, serta pembedahan yang hanya dapat dikerjakan pada trimester kedua kehamilan apabila gagal mencapai target terapi dengan medikamentosa. Meskipun demikian, pilihan terbaik adalah menghindari tindakan pembedahan mayor selama kehamilan.

 

Referensi:

Berga SL, Nitsche JF, Braunstein GD. Endocrine changes in pregnancy. In: Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR, Kronenberg HM, editor. William’s Endocrinology. 13th edition. Philadelphia: New York; 2016. pp:832-837

Davies TF, Laurberg P, Bahn, RS. Hyperthyroid disorders. In: Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR, Kronenberg HM, editor. William’s Endocrinology. 13th edition. Philadelphia: New York; 2016. pp:395-399

Cooper DS, Ladenson PW. The thyroid gland. In: Gardner DG, Shoback D, editor. Greenspan Basic and Clinical Endocrinology. 10th edition. New York: McGraw Hill; 2018. pp:189-214

Alexander EK, Pearce EN, Brent GA, Brown RS, Chen H, Dosiou C, et al. 2017 Guideline of the American Thyroid Association for the diagnosis and management of thyroid disease during pregnancy and the postpartum. Thyroid. 2017; 27(3): 315-389