Kamis, 03 November 2022 14:04 WIB

Tatalaksana dan Pengobatan Hisprung pada Anak

Responsive image
9387
Novita Agustina, Ns, M.Kep, Sp.Kep. A - RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang

Tatalaksana penyakit hirschsprung:

1) Dekompresi

Dekompresi dilakukan bila terdapat perut kembung dan muntah berwarna hijau dengan pemasangan pipa orogaster/nasogaster dan pipa rektum serta dilakukan irigasi feces dengan menggunakan NaCl 0.9% 10-20 cc/kgBB, bila irigasi efektif dapat dilanjutkan sampai cairan yang keluar relatif bersih.

2) Perbaikan keadaan umum

a. Resusitasi cairan dan koreksi elektrolit Resusitasi cairan melalui melalui rehidrasi dilakukan dengan menggunakan cairan isotonik. Koreksi terhadap gangguan elektrolit diberikan setelah dipastikan fungsi ginjal baik.

b. Antibiotik spektrum luas untuk mencegah sepsis. Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah episode berulang penyakit hirschsprung tidak terbukti mempunyai dampak yang baik dan dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi. Antibiotik digunakan untuk menekan overgrowth dan translokasi bakteri-bakteri di usus ke pembuluh darah melalui dinding usus. Adanya demam dan lekositosis dapat menjadi dasar untuk memulai pemberian antibiotik. Pasien dengan Penyakit hirschsprung berat yang dihubungkan dengan enterokolitis atau HAEC dan sepsis ini membutuhkan penanganan di unit perawatan intensif untuk mengontrol kondisi hemodinamik, perlu mendapat antibiotik spektrum luas yang dimulai dengan ampisilin, gentamisin dan metronidazole.

c. Rehabilitasi nutrisi. Setelah dekompresi berhasil pasien tidak perlu dipuasakan dan dapat segera mendapat diet per oral sesuai dengan umur pasien

3) Tindakan Bedah

Pada dasarnya penyembuhan penyakit hirschsprung hanya dapat dicapai dengan pembedahan (rekomendasi A), berupa pengangkatan segmen usus aganglion, diikuti dengan pengembalian kontinuitas usus. Terapi medis hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur bedah pada penyakit hirschsprung merupakan bedah sementara dan bedah definitif. Sejak ditemukannya protocol awal oleh Swenson pada tahun 1948 mulai berkembang teknik pendekatan operasi terbaru seperti Soave, Duhamel dan lain-lain.

Prosedur operasi 1 tahap memungkinkan jika diagnosis dapat ditegakkan lebih awal sebelum terjadi dilatasi kolon pada hirschsprung’s disease short segment, sedangkan untuk penyakit hirschsprung long segment dan total kolon aganglionosis sebaiknya dilakukan dalam 2 tahap.

a. Tindakan Bedah Sementara (pembuatan stoma). Tindakan bedah sementara dapat merupakan tindakan emergensi atau elektif. Tindakan emergensi diperlukan bila dekompresi rektum tidak berhasil. Sedangkan tindakan bedah sementara elektif dilakukan bila tindakan dekomprei berhasil untuk persiapan operasi definitif.

b. Tindakan Bedah Definitif Tindakan bedah definitif dapat dikerjakan dengan atau tanpa melalui tindakan bedah sementara. Tindakan bedah definitive yang dikerjakan tanpa bedah sementara dilakukan pada penderita yang berhasil didekompresi dengan menggunakan pipa rektum dengan penilaian kaliber kolon normal. Irigasi rectum reguler selama waktu tertentu dapat mengembalikan caliber kolon yang distensi dan hipertrofi ke kaliber yang normal sehingga dapat menghindari tindakan pembuatan stoma dan pasien mempunyai kesempatan mendapatkan operasi satu tahap.

Prosedur operasi saat ini yang dilakukan dapat berupa operasi terbuka atau operasi dengan bantuan laparaskopi.

1. Prosedur Swenson.

Operasi yang dilakukan adalah tarik terobos (pull-through) rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata. Swenson memperbaiki kembali metode operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior.

2. Prosedur Duhamel

Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side.

3. Prosedur Reihbein

Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection yang diekstensi ke distal sampai dengan pengangkatan sebagian besar rektum kemudian dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm di atas anal verge), menggunakan jahitan 1 (satu) lapis yang di kerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Paska operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.

4. Prosedur Soave

Tujuan utama dari prosedur Soave adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.

5. Transanal endorectal pull-through

Prosedur ini mulai diperkenalkan pada tahun 1998 oleh De La Torre-Mondragon, Ortega-Salgado, dan Langer. Prosedur ini yang saat ini banyak disenangi karena menurunkan morbiditas, tanpa kolostomi, tanpa membuka perut, dan invasif minimal. Pada teknik ini pasien dalam posisi litotomi kemudian dilakukan mukosektomi distal rektum melalui anus sampai pada segmen yang normal kemudian dianastomisis ke anus. Kekurangan prosedur ini tidak bisa dilakukan pada kasus yang enterocolitis berulang dan segmen panjang. Pada pasien-pasien segmen panjang hisrchsprung, tindakan ini dilakukan dengan bantuan laparoskopi.

6. Tindakan definitif pada hirschsprung yang total aganglionik.

Pada kasus hirschsprung yang total aganglionik, tindakan operasi defenitif adalah modifikasi dari teknik-teknik di atas. Antara lain Martin’s procedure, dan Kimura’s procedure. Studi menunjukkan bahwa reseksi kolon total.

 

Referensi:

Corputty, E. D., Lampus, H. F., & Monoarfa, A. (2015). Gambaran pasien hirschsprung Di Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2010 – September 2014. E-CliniC, 3(1).

Mentri Kesehatan RI. (2017). Keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor HK.01.07/MENKES/474/2017, 1–14.

Surya, P. A. I. L., & Dharmajaya, I. M. (2013). Gejala dan diagnosis penyakit hirschprung. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 1–5.

Sumber foto: https://mengobatihisprung.wordpress.com/