Senin, 31 Oktober 2022 16:47 WIB

Bell's Palsy

Responsive image
18026
Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Kondisi lumpuhnya saraf wajah (saraf ketujuh atau saraf fasialis) akibat peradangan dan pembengkakan saraf yang mengontrol otot pada salah satu sisi wajah disebut bell’s palsy. Biasanya kondisi tersebut membuat perubahan bentuk pada salah satu sisi wajah atau terlihat perot. Hal ini tentunya cukup menganggu aktivitas sehari-hari, terutama saat berkumur maupun minum. Seringkali penderitanya juga mengalami keluhan seperti mata kering dan memerah karena bell’s palsy membuat pelumasan mata tidak optimal. Jika gejala yang dialami masih ringan, biasanya bell’s palsy tidak berbahaya dan dapat disembuhkan secara sempurna. Namun, jika gejalanya berat dan terlambat ditangani tentu dapat berakibat pada kelemahan wajah permanen. Bell’s palsy bisa terjadi pada siapa saja. Akan tetapi, kondisi ini paling sering terjadi pada ibu hamil, penderita diabetes, dan penderita infeksi saluran pernapasan atas, seperti flu. Banyak orang mengira bell’s palsy sebagai stroke karena sama-sama menimbulkan gejala lumpuh. Padahal, gejala bell’s palsy hanya terbatas di otot wajah dan sebagian besar penderitanya dapat pulih sepenuhnya dalam waktu 6 (enam) bulan. Meskipun sama-sama menyebabkan kelumpuhan separuh wajah, bell’s palsy berbeda dengan sindrom Ramsay-Hunt. Sindrom ini merupakan komplikasi dari herpes zoster yang menyerang saraf wajah.

Penyebab dan Gejala Bell’s palsy

Bell’s palsy terjadi ketika saraf yang mengendalikan otot wajah mengalami peradangan. Peradangan tersebut menyebabkan sarat terhimpit sebagian atau seluruhnya sehingga otot yang tersambung dengan saraf juga berhenti bekerja. Kondisi inilah yang membuat otot wajah lumpuh.

Penyebab peradangan saraf tersebut belum diketahui secara pasti. Namun, kondisi ini diduga terjadi akibat infeksi virus, seperti :

1.      Virus herpes simplex

2.      Virus varicella zoster

3.      Cytomegalovirus

Selain infeksi virus, ada beberapa penyakit lain yang diduga dapat memicu bell’s palsy, yaitu infeksi telinga tengah, sarkoidosis, tumor pada kelenjar ludah, hipertensi (tekanan darah tinggi), atau diabetes.

Faktor Risiko Bell’s Palsy

Bell’s palsy dapat terjadi pada siapa saja. Akan tetapi, terdapat sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami kondisi ini, yaitu :

1.      Berusia 15-60 tahun.

2.      Menderita penyakit autoimun, seperti myasthenia gravis.

3.      Sedang hamil, terutama pada trimester ketiga.

4.      Menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), seperti flu.

5.      Memiliki anggota keluarga yang menderita Bell’s palsy.

6.      Menderita obesitas

7.      Menderita infeksi virus, seperti COVID-19.

8.      Mendapatkan vaksinasi untuk COVID-19.

9.      Menderita diabetes

10.   Menderita tekanan darah tinggi

11.   Menderita dislipidemia, yaitu kondisi ketika kadar lemak dalam darah meningkat.

12.   Terpapar udara dingin.

13.   Terpapar radiasi

14.   Mengalami pre-eklamsia yang parah.

Gejala bell’s palsy dapat bervariasi pada setiap orang dan dapat bersifat ringan atau berat. Gejala bell’s palsy juga datang secara tiba-tiba.

Kelumpuhan wajah ini akan tampak dalam :

1.      Perubahan bentuk wajah.

2.      Salah satu sisi wajah tampak melorot.

3.      Sulit tersenyum

4.      Sulit menutup mata.

Selain perubahan bentuk wajah, gejala lain juga dapat dirasakan oleh penderita, yaitu :

1.      Rasa nyeri di sekitar rahang dan belakang telinga pada sisi yang mengalami kelumpuhan.

2.      Sakit kepala

3.      Penurunan kemampuan mengecap rasa.

4.      Mata kering

5.      Otot wajah berkedut.

6.      Air liur yang menetes (ngiler).

7.      Telinga berdenging atau tinitus.

8.      Sensitif terhadap suara.

Pemeriksaan

Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik pada kondisi wajah pasien dan akan meminta pasien melakukan beberapa gerakan, seperti menutup mata, mengangkat alis, atau mengernyitkan kening untuk mendeteksi kelumpuhan saraf wajah.

Guna memastikan penyebabnya, dokter juga dapat melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan, seperti :

1.      Elektromiografi (EMG), untuk mendeteksi adanya kerusakan saraf.

2.      MRI dan CT scan, untuk memastikan tidak ada kelainan pada otak.

3.      Tes darah, untuk mengetahui adanya penyakit lain yang memicu terjadinya bell’s palsy, seperti diabetes atau penyakit Lyme.

Pencegahan

Bell’s palsy tidak bisa dicegah. Namun, Anda dapat menurunkan risiko terjadinya kondisi ini dengan melakukan upaya-upaya berikut :

1.      Mengontrol penyakit yang dapat menyebabkan bell’s palsy, seperti diabetes dan hipertensi.

2.      Menghindari paparan udara dingin yang berlebihan.

3.      Menurunkan berat badan atau menjaga berat badan agar tetap ideal.

 

Referensi :

Chintami Nurkolbiah, dkk. 2016. Terapi untuk Bell’s palsy Berdasarkan Tingkat Keparahan. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.

Zhang, W., et al. 2019. The Etiology of Bell’s palsy : A Review. Journal of Neurology, 267, pp. 1896-905.

National Health Service UK. 2020. Health A to Z. Bell's Palsy. National Health Service UK. Health A to Z. Bell's Palsy.

National Institutes of Health. 2021. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Bell's Palsy Fact Sheet.

Johns Hopkins Medicine. 2022. Conditions and Diseases. Bell's Palsy.

Kahn, A., & Larson, J. Healthline. 2021. What is Bell’s palsy?

Jeong, J., et al. 2021. Risk Factors for Bell's Palsy Based on the Korean National Health Insurance Service National Sample Cohort Data. Scientific Reports, 11(1), pp.

Zhang, W., et al. 2019. The Etiology of Bell’s palsy : A Review. Journal of Neurology, 267, pp. 1896-905.

National Institutes of Health. 2021. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Bell's Palsy Fact Sheet.

Johns Hopkins Medicine. 2022. Conditions and Diseases. Bell's Palsy.

Ronthal, M., & Greenstein, P. Up to date. 2022. Patient Education : Bell's Palsy (Beyond the Basics).