Perkembangan keluarga pada umumnya terjadi secara teratur dan bertahap. Apabila terjadi kemandegan dalam keluarga, hal itu akan mengganggu sistem keluarga. Untuk mencapai kestabilan keluarga dalam suatu sistem maka pola-pola interaksi keluarga berjalan secara evolusi. Sistem keluarga berfungsi untuk saling membantu dan memungkinkan kemandirian dari anggota keluarga. Keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan anak, di antaranya yaitu mengajarkan anak bagaimana berinteraksi sosial dengan baik di masyarakat.
Pendidikan keluarga merupakan satu ruang pembelajaran utama dan pertama yang diperoleh anak sejak masih dalam fase asuhan orang tua, pendidikan tersebut berkontribusi besar terhadap pembentukan kepribadian dan kecerdasan anak bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan dan kegagalan pendidikan keluarga menentukan keberhasilan dan kegagalan anak di masa depan.
Ada faktor-faktor umum dalam situasi keluarga yang dapat memberi pengaruh yang positif atau pengaruh yang negatif terhadap perkembangan psikis seorang individu, salah satunya adalah faktor keutuhan keluarga. Keutuhan keluarga adalah keutuhan dalam struktur keluarga, yaitu bahwa di dalam keluarga itu ada ayah, ibu, dan anak-anak. Apabila tidak ada ayah atau ibu, atau kedua-duanya tidak ada, maka struktur keluarga itu tidak utuh lagi. Sebuah keluarga dikatakan harmonis jika seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan berkurangnya ketegangan, kekecewaan, dan merasa puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya yang meliputi aspek fisik, mental, emosi, dan sosial.
Maksud dari keutuhan keluarga adalah keutuhan dalam struktur keluarga, yaitu di dalam keluarga itu ada ayah, ibu, dan anak-anak. Apabila tidak ada ayah atau ibu atau keduanya tidak ada (meninggal), maka struktur keluarga itu tidak utuh lagi. Juga ayah atau ibunya jarang pulang ke rumah atau berbulan-bulan meninggalkan rumah, karena tugas-tugas lain maka struktur keluarga itupun sebenarnya tidak utuh lagi. Begitu pula apabila orang tuanya bercerai, maka keluarga itupun tidak utuh lagi. Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam satu keluarga sangat dibutuhkan agar pengaruh, arahan, bimbingan, dan sistem nilai yang direalisasikan orang tua senantiasa tetap dihormati, mewarnai sikap dan pola perilaku anak-anaknya.
Keadaan keluarga tidak utuh ini mengakibatkan gangguan psikologis bagi anak-anak, karena mereka kurang mendapat perhatian dan kasih sayang yang seharusnya mereka peroleh pada masa remaja. Akibatnya mereka mengalami gangguan emosional atau neurotik, seperti mengisolasikan diri dari teman-temannya, merasa kesepian karena merasa tidak diperhatikan lagi, merasa tidak percaya diri, mereka kurang membangun interaksi sosial dengan orang lain serta punya harapan hidup yang rendah. Tempat perkembangan awal bagi seorang anak sejak saat kelahirannya hingga proses perkembangan jasmani dan rohani di masa mendatang adalah keluarga. Mereka membutuhkan kasih sayang, perhatian, dan rasa aman untuk berlindung pada orangtuanya untuk mencapai perkembangannya. Tanpa sentuhan manusiawi itu, anak akan merasa terancam dan dipenuhi rasa takut. Bagi seorang anak, keluarga memiliki arti dan fungsi yang penting bagi kelangsungan hidup maupun dalam menemukan makna dan tujuan hidup. Selain itu di dalam keluarga anak didorong untuk menggali, mempelajari, dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan, religius, norma-norma (etika), dan pengetahuan.
Orang tua bertengkar menyebabkan anak menjadi sedih, kesal, malu, kecewa, tidak nyaman; hubungan orang tua berjarak menyebabkan anak merasa marah, sedih; keluarga jarang berkumpul dan beraktivitas bersama menyebabkan anak tidak merasakan kedekatan emosional; sikap ayah tidak peduli terhadap keluarga dan jarang di rumah menyebabkan kebencian pada anak karena tidak merasakan kedekatan emosional; ibu jarang di rumah karena sibuk bekerja menyebabkan tidak merasakan kedekatan emosional. Sehingga membuat anak tidak merasakan kepuasan dalam domain keluarga.
Anak korban broken home, sekalipun latar belakang broken home keluarga mereka berbeda satu sama lain, namun akibat yang menimpa terhadap anak adalah hampir sama yaitu berupa depresi mental. Sehingga anak-anak depresi mental karena broken home nampak berbeda dari anak-anak pada umumnya yang normal. Anak-anak korban broken home jiwanya tidak stabil karena terbebani masalah, jiwanya seperti mau berontak, suka melawan guru, sikap menantang, perilakunya sangat mengganggu proses belajar mengajar, sangat mengganggu suasana kelas, dan banyak melanggar aturan sekolah, sering bolos pada jam-jam belajar, sering alpa, dan hari-hari di kelas tidak bisa tenang dan suka berpindah-pindah tempat dan suka jalan-jalan.
Keluarga yang broken home menyebabkan anak kekurangan kasih sayang secara psikologis sehingga berpengaruh terhadap perkembangan moral dan psikososial anak. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan beberapa indikator perilaku moral buruk yang muncul yaitu : membuat kesalahan dan tidak mau minta maaf; sering tidak mentaati tata tertib sekolah; dan mencari perhatian dengan membuat kegaduhan saat jam pelajaran. Adapun indikator perilaku yang menunjukkan terhambatnya perkembangan psikososialnya sebagai berikut: tidak semangat mempelajari pengalaman baru; anak tidak percaya diri; dan sering membandingkan dirinya dengan tema. Dampak yang dirasakan oleh anak korban perceraian orangtuanya antara lain; merasa tidak aman, adanya rasa penolakan dari keluarga, marah, sedih, kesepian, dan perasaan menyalahkan diri sendiri.
Emotional loneliness mengacu pada emosi negatif yang muncul akibat ketidakpuasan pada hubungan yang bersifat intim, dimana hubungan intim yang dimaksud adalah hubungan dengan figur attachment anak yaitu ayah atau ibunya. Loneliness yang dirasakan oleh anak terjadi akibat dari jarangnya berinteraksi dengan anggota keluarganya yang lain. Kematian orang yang dikasihi juga dapat menghancurkan anggota keluarga lainnya. Kecemasan, depresi, rasa bersalah, dan kemarahan atas kematian orang yang dikasihi adalah reaksi yang umum terjadi pada anggota keluarga yang dapat menjurus ke arah gangguan emosi dan masalah keluarga yang lebih serius jika tidak segera terpecahkan.
Pola asuh kurang baik juga bisa tercipta jika anak berada jauh dari orang tua, karena saat anak jauh dari orang tua komunikasi yang terjalin kurang efektif sehingga anak bisa seenaknya melakukan apa yang ia sukai tanpa pengawasan dari orang tua seperti mengkonsumsi alkohol bersama teman-temannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi remaja dalam mengkonsumsi alkohol yaitu kondisi keluarga yang meliputi keutuhan keluarga, kesibukan orang tua, dan komunikasi orang tua dengan anak. Dampak konflik orang tua bagi anak, adalah kurangnya komunikasi, kurang kasih sayang, sering melamun dan berkonsentrasi pada saat belajar di kelas, adanya keinginan untuk bunuh diri, dan prestasi belajar menurun.
Dengan demikian dilihat dari ulasan di atas, tentunya banyak hal negatif yang didapatkan oleh si anak daripada hal positif yang didapatkannya di saat adanya pertengkaran orang tua yang dilihat secara langsung, dan bahkan jauh lebih buruk lagi ketika sebuah pertengkaran yang sampai menjurus pada arah kekerasan dan berlanjut pada arah perceraian, sehingga tidak ada hal positif yang di dapatkan.
Referensi :
Ahmadi, A. 1999. Psikologi Social. Rineka Cipta, Jakarta.
Asfiyah, W., & Ilham, L. 2019. Urgensi Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Hadist dan Psikologi Perkembangan. Hisbah : Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam, 16(1), 1-20.
Aziz, M. 2019. Perilaku Sosial Anak Remaja Korban Broken home Dalam Berbagai Perspektif (Suatu Penelitian di SMPN 18 Kota Banda Aceh). Jurnal Al-Ijtimaiyyah : Media Kajian Pengembangan Masyarakat Islam, 1(1), 30-50.
Astuti, Y. D. 2007. Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya pada Kondisi Psikologis Survivor : Tinjauan Teoritis tentang Arti Penting Death Education. Unisia, 30(66) 363-376.
Dewi, P. S., & Utami, M. S. 2008. Subjective Well?Being Anak dari Orangtua yang Bercerai. Jurnal Psikologi, 35(2), 194-212.
Hidayati, Diana Savitri. 2018. Family Functioning dan Loneliness pada Remaja dengan Orangtua Tunggal. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 6(1), 54-62.
Mali, M. K., Widodo, D., & Sutriningsih, A. 2017. Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Kebiasaan Mengkonsumsi Alkohol pada Remaja Laki-laki NTT yang Tergabung Dalam Organisasi Ikabe - Malang. Nursing News, 2(2), 53-61.
Marpaung, J., & Novitasari, K. D. 2017. Studi Deskriptif Dampak Orangtua yang Berkonflik Bagi Anak. Cahaya pendidikan, 3(1), 44-51.
Nisfiannoor, M., & Yulianti, E. 2005. Perbandingan Perilaku Agresif Antara Remaja yang Berasal dari Keluarga Bercerai dengan Keluarga Utuh. Jurnal Psikologi, 3(1), 1-18.
Saqinah, D. R., Fasikhah, S. S., & Zulfiana, U. 2019. Hubungan antara Dukungan Emosional Orangtua dan Agresivitas Remaja dengan Orangtua Bercerai. Cognicia, 7(2), 12.
Septiana, V. S., Pranaji, D. K., & Simanjuntak, M. 2014. Faktor Suku dalam Pola Komunikasi, Penyesuaian Suami Istri, dan Keharmonisan Keluarga. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, 7(1), 1-9.
Trianingsih, R., Inayati, I. N., & Faishol, R. 2019. Pengaruh Keluarga Broken home Terhadap Perkembangan Moral dan Psikososial Siswa Kelas V SDN 1 Sumberbaru Banyuwangi. Jurnal Pena Karakter (Jurnal Pendidikan Anak dan Karakter), 02(01), 9-16.
Wulandri, D., & Fauziah, N. 2019. Pengalaman Remaja Korban Broken Home (Studi Kualitatif Fenomenologis). Empati, 8(1), 1-9.
Lolang Maria Masi. Analisis Kondisi Psikologis Anak dari Keluarga Tidak Utuh pada Siswa SMA PGRI Kupang. Program Studi Bimbingan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Nusa Cendana Corresponding Author.