Jumat, 16 September 2022 11:33 WIB

Mengenal Trakeostomi

Responsive image
18872
Novita Agustina, Ns, M.Kep, Sp.Kep. A - RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang

Trakeostomi adalah salah satu tindakan pilihan pada kasus obstruksi jalan nafas atas. Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding anterior trakea untuk mengatasi sumbatan jalan napas. Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding anterior trakea untuk mengatasi sumbatan jalan napas. Tindakan trakeostomi   yang modern pertama kali diperkenalkan pada tahun 1909 oleh Chevalier Jackson dalam artikel yang ditulisnya pada tahun 1921” High Tracheotomy and Other Errors: The Chief  Cause  of  Chronic Laryngeal  Stenosis.” 

Insisi yang dilakukan pada trakea disebut dengan trakeostomi, sedangkan tindakan yang membuat stoma selanjutnya diikuti dengan pemasangan kanul trakea agar udara  dapat masuk ke dalam paru-paru dengan menggunakan jalan pintas jalan nafas bagian atas. Ada berbagai indikasi trakeostomi antara lain obstruksi mekanik pada saluran   pernapasan atas seperti: adanya tumor pada saluran pernapasan atas, epiglotitis,   paralisis plicavocalis, juga pada pasien dengan kelainan neurologi, trauma terutama   pada saluran pernapasan atas, pasien dengan kesadaran menurun untuk mencegah terjadinya aspirasi ke saluran pernapasan bawah.     

Namun dalam melakukan trakeostomi ada banyak efek samping yang didapatkan antara lain fungsi dari saluran pernapasan atas terganggu sehingga menyebabkan   produksi sekret bertambah, yang dapat mengakibatkan sumbatan saluran napas,   selain itu trakeostomi juga dapat mengakibatkan terganggunya sistem mukosiliar dengan adanya tube dapat mengganggu gerakan sekret ke atas, yang akhirnya dapat menyebabkan perubahan dari  silia  epitel  sehingga  udara  menjadi  lebih  kering.

Trakeostomi adalah operasi relatif umum digunakan untuk menjaga jalan napas    pasien, mengurangi dead space area dan memperlancarakses ke saluran pernapasan bagian bawah, dengan melewati saluran pernapasan bagian atas. Turbulen aliran  udara hidung, diduga menyebabkan pengeringan lokal dari epitel, dengan  perubahan   transportasi mukosiliar, pembentukan krustahidung dan adanya mikroba menyebabkan gangguan  fungsi  pada  hidung.

Trakeostomi umum dilakukan pada unit perawatan intensif.  Trakeostomi juga diperkirakan akan semakin sering dilakukan seiring dengan meningkatnya penggunaan ventilasi mekanik jangka panjang. Keputusan untuk melakukan trakeostomi pada pasien kritis harus bersifat individual sesuai dengan kondisi pasien, perkiraan pemulihan, risiko intubasi jangka panjang, dan komplikasi pasca trakeostomi.

Trakeostomi memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan intubasi endotrakea jangka panjang, di antaranya meningkatkan kenyamanan pasien, kebersihan rongga mulut, kemampuan berkomunikasi, kemungkinan makan secara oral, serta perawatan yang lebih mudah dan aman. Selain itu, penggunaan selang trakeostomi dapat pula menurunkan hambatan udara serta berpotensi menurunkan penggunaan sedasi dan analgesia sehingga dapat memfasilitasi proses penyapihan dan menghindari pneumonia terkait ventilator.

Dengan demikian, tindakan trakeostomi diharapkan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas pada pasien yang memerlukan bantuan ventilasi mekanik. Pemasangan tabung trakeostomi tentu akan menimbulkan rasa tidak nyaman. Setelah menjalani prosedur ini, pasien biasanya akan sulit berbicara dan menelan. Namun, efeknya akan membaik sekitar satu minggu ketika pasien sudah terbiasa dengan keberadaan tabung.

Untuk pengguna jangka panjang, dokter akan memberi tahu cara merawat dan membersihkan tabung trakeostomi di rumah. Pada beberapa kasus, trakeostomi juga bisa menimbulkan komplikasi, terutama bagi bayi, perokok aktif, dan lansia. Risiko yang dapat dialami: Infeksi kulit, jaringan parut di trakea, infeksi trakea, radang paru-paru, kegagalan fungsi paru, tabung trakeostomi tersumbat atau copot sehingga menyebabkan sulit bernapas.  

Pasien juga berisiko mengalami kerusakan pada pita suara yang menyebabkan perubahan suara permanen. Namun, risiko ini sangat jarang terjadi. Pada pasien yang terpasang trakeostomi, sebaiknya dianjuran untuk rajin kontrol atau menemui dokter sesuai jadwal.

 

Referensi:

Kurniawati, L., Pitoyo, C. W., Rumende, M., & Mansjoer, A. (2014). Hubungan antara jarak waktu trakeostomi dengan mortalitas pasien kritis terventilasi mekanik di unit perawatan intensif. Indonesian Journal of Chest, Critical and Emergency Medicine, 1(2), 66–74. Retrieved from https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.respirologi.com/upload/file_1455190421.pdf&ved=2ahUKEwjk1LLZrIHqAhWUIbcAHV-KDjAQFjABegQIAhAB&usg=AOvVaw3Ou7HoFqCy59BnH1rUXrJE

Singh, G., Kurniawati, L., Pitoyo, C. W., Mansjoer, A., & Rumende, C. M. (2014). Hubungan waktu trakeostomi dengan durasi ventilasi mekanik pascatrakeostomi di unit perawatan intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jaarta. Indonesian Journal of Critical and Emergency Medicine CHEST, 1(4), 2–7.

Tenri Sanna, A. (2019). Perbandingan kadar eosinofil dan netrofil mukosa hidung pada pasien pasca trakeostomi di makassar. Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia (MPPKI), 2(3), 215–218. https://doi.org/10.56338/mppki.v2i3.809

Sumber foto : Dokumentasi RSMH