Jumat, 16 September 2022 08:22 WIB

Mengenal Savant Syndrome di Balik Autisme

Responsive image
4376
Tim Promkes RSST - RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Autisme berasal dari istilah dalam bahasa Yunani; “aut” = diri sendiri, “ismeorientation / state = orientasi / keadaan. Maka autisme dapat diartikan sebagai kondisi seseorang yang secara tidak wajar terpusat pada dirinya sendiri; kondisi seseorang yang senantiasa berada di dalam dunianya sendiri.

Istilah “autisme” sendiri pertama kali diperkenalkan oleh seorang peneliti pada tahun 1943, selanjutnya ia juga memakai istilah “Early Infantile Autism”, atau dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan sebagai “Autisme masa kanak-kanak”. Hal ini untuk membedakan dari orang dewasa yang menunjukkan gejala autisme seperti ini.

Kita ketahui autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pada anak yang sifatnya komplek dan berat, biasanya telah terlihat sebelum berumur 3 (tiga) tahun, tidak mampu untuk berkomunikasi dan mengekspresikan perasaan maupun keinginannya. Akibatnya perilaku dan hubungannya dengan orang lain menjadi terganggu, sehingga keadaan ini akan sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya.

Namun dalam hal lain diketahui juga bahwa anak dengan autis juga mempunyai keistimewaan yang lainnya, autisme dapat mengenai siapa saja tidak tergantung pada etnik, tingkat pendidikan, sosial, dan ekonomi. Autisme bukanlah masalah baru, dari berbgai bukti yang ada, diketahui kelainan ini sudah ada sejak berabad-abad yang lampau.

Kita ketahui terkadang anak mempunyai keistimewaannya masing-masing, sebagai contoh tidak terkecuali seorang anak dengan savant syndrome yang merupakan bagian dari seorang yang autis. Dan savant syndrome sendiri adalah suatu kondisi di mana seseorang mendapatkan bakat atau kemampuan luar biasa yang terjadi bersamaan dengan gangguan kondisi perkembangan, seperti kondisi spektrum autisme (autisme). Belum jelas alasan mengapa hanya beberapa orang autis mengembangkan keterampilan cerdas sementara yang lain tidak.

Menurut American Psychiatric Association, autisme menggambarkan serangkaian gejala yang melibatkan kesulitan dalam komunikasi sosial, perilaku berulang atau rutin yang tidak biasa, minat yang sangat sempit, dan kepekaan atipikal terhadap rangsangan sensorik. Dalam savant syndrome, bakat dan keterampilan yang diamati pada individu tersebut jauh melebihi tingkat keseluruhan fungsi intelektual atau perkembangan mereka sendiri.

Berapapun angka pastinya, keterbelakangan mental dan bentuk lain dari kecacatan perkembangan lebih umum daripada gangguan autistik, sehingga perkiraan yang masuk akal mungkin sekitar 50 persen orang dengan sindrom savant memiliki gangguan autistik dan 50 persen lainnya memiliki bentuk perkembangan lain. Kecacatan, keterbelakangan mental atau cedera atau penyakit SSP lainnya. Dengan demikian, tidak semua penyandang autis mengalami savant syndrome dan tidak semua orang dengan savant syndrome mengalami gangguan autis.

Penting untuk dicatat bahwa "savants" dan "orang autis berbakat" bukanlah hal yang sama. Ada banyak orang autis dengan bakat biasa, tetapi sindrom savant jarang terjadi dan ekstrem. Dengan kata lain, seseorang dengan autisme yang mampu menghitung dengan baik, memainkan alat musik, atau menampilkan dirinya sebagai orang yang sangat mampu, menurut definisi, bukanlah seorang savant.

Sebuah penelitian menyelidiki teori bahwa pengembangan keterampilan savant mungkin terkait dengan sensitivitas sensorik yang meningkat. Penelitian melaporkan lebih banyak gejala yang terkait dengan sensitivitas sensorik yang mendukung teori, bahwa sensitivitas sensorik dapat bertindak sebagai katalis awal dalam munculnya bakat cerdas. Dalam penelitian lainnya juga membuat klaim bahwa sensitivitas sensorik dapat meningkatkan perhatian terhadap detail. Namun, meskipun menemukan sifat ini meningkat pada kelompok autisme sampel penelitian ini secara global, tidak ada perbedaan perhatian terhadap detail antara autis-savants dan autistic-non savants. Menariknya, temuan sensitivitas sensorik yang meningkat pada kelompok savant kami berhubungan lebih luas dengan kondisi lain, sinestesia, yang juga memiliki komponen sensorik yang berbeda. Sinestesia menghasilkan pengalaman sensorik yang diinduksi oleh rangsangan yang tidak biasa (misalnya huruf atau angka dapat menyebabkan sensasi warna). Sinestesia telah dikaitkan dengan autisme sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua kondisi tersebut memiliki hubungan yang sama dalam profil kepekaan sensorik mereka.

Dan diketahui baru-baru ini dalam sebuah penelitian, sinestesia telah secara khusus dikaitkan dengan sindrom savant daripada autisme saja. Jadi, data penelitian saat ini dikombinasikan dengan bukti sebelumnya lebih lanjut menunjukkan bahwa komponen sensorik mungkin menjadi penghubung mediasi penting antara autisme dan pengembangan keterampilan savant, bahkan mungkin melalui sinestesia itu sendiri.

Sangat menarik untuk melihat sindrom savant sebagai hal yang positif. Bagaimanapun, para savant adalah orang-orang yang sangat mengesankan dengan kemampuan melebihi orang-orang biasa. Kenyataannya, adalah bahwa hal tersebut tidak selalu membuat hidup lebih mudah dan dalam beberapa kasus, itu dapat membuat hidup lebih sulit. Beberapa penderita savant autis memiliki kemampuan luar biasa yang dapat dikembangkan atau disalurkan ke arah yang bermanfaat.

Misalnya, beberapa seniman dan musisi autis yang unik dan berbakat dapat menjual karya mereka (hampir selalu melalui orang tua atau manajer). Namun, dalam kebanyakan kasus, keterampilan savant adalah "keterampilan sempalan", yang berarti keterampilan yang meskipun nyata dan signifikan, tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kemampuan untuk melafalkan halaman-halaman buku telepon dari ingatan, sementara prestasi yang luar biasa, tidak memiliki tujuan yang berarti di luar dirinya sendiri.

Berdasarkan beberapa ulasan di atas, dengan kata lain tentunya baik anak dengan savant syndrome ataupun tidak, tentunya anak dengan autisme sama-sama membutuhkan perhatian yang lebih dan bimbingan agar dapat mengeksplorasi dan mengembangkan potensinya dengan baik sebagai bekal dalam meraih masa depannya.

 

Referensi        :

American Psychiatric Association. Cautionary Statement for Forensic Use of DSM-5. 5th edition. Arlington : American Psychiatric Publishing; 2013. https://doi.org/10.1176/appi.books.9780890425596.744053.

Furniss GJ. Celebrating the Artmaking of Children with Autism. Art Educ. 2008;61:2008.

Hughes JEA, Simner J, Baron-Cohen S, Treffert DA, Ward J. Is Synaesthesia More Prevalent in Autism Spectrum Conditions? Only Where There is Prodigious Talent. Multisens Res. 2017;30:391-408. https://doi.org/10.1163/22134808-00002558.

Treffert DA. The Savant Syndrome : an Extraordinary Condition. A Synopsis : Past, Present, Future. Philos Trans R Soc B Biol Sci. 2009 ; 364:1351-7. https://doi.org/10.1098/rstb.2008.0326.

Ward J, Hoadley C, Hughes JEA, Smith P, Allison C, Baron-Cohen S, et al. Atypical Sensory Sensitivity as a Shared Feature Between Synaesthesia and Autism OPEN 2017. doi:https://doi.org/10.1038/srep41155. https://www.verywellhealth.com/what-is-an-autistic-savant-260033.

Shevira Regita Maharani (Airlangga Nursing Journalist), Lailatul Yusnida (Airlangga Nursing Journalist) “Savant Syndrome, Kemampuan Luar Biasa di Balik Autisme” FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195405271987031MOHAMAD_SUGIARMIN/INDIVIDU_DENGAN_GANGGUAN_AUTISME.