Rabu, 07 September 2022 12:51 WIB

Peran Keluarga dalam Kemandirian Anak

Responsive image
571
Nyimas Sri Wahyuni, M.Kep,SP,Kep.A - RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang

Kemandirian  anak tidak terlepas dari peran keluarga. Keluarga merupakan lingkungan terdekat dengan kehidupan anak dan merupakan salah satu faktor lingkungan terpenting dalam kehidupan seseorang (Conger,J.J, 2011). Dalam  keluarga, orang tua biasanya  memiliki dampak terbesar pada kehidupan anak-anak mereka. Dacey & Travers (2012) menemukan bahwa perilaku dan usaha orang tua dapat mempengaruhi kemampuan dan pertumbuhan anak. Hurlock (2014)  mengatakan hal yang sama. Menurutnya, semua pola perilaku orang tua  mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Santrock (2006) menyatakan bahwa keluarga yang sehat mental mengatasi keinginan remaja untuk mandiri dengan memperlakukan remaja secara adil.

Bersikaplah dewasa dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan keluarga. Keluarga yang menginginkan anaknya  mandiri biasanya memberikan kebebasan  untuk melakukan sesuatu dan mengambil keputusan sendiri. Mereka tidak membatasi atau memaksakan aturan yang harus diikuti tanpa penjelasan sebelumnya. Sebuah studi oleh Patricia Greenefield dan Lalita Suzuki (Dacey & Travers, 2012) menemukan bahwa orang tua yang ingin anaknya mandiri berusaha membantu anaknya  menjadi individu yang mandiri dan masuk ke dalam hubungan orang dewasa pilihan mereka. Orang tua  berusaha  mengembangkan kemandirian, kemampuan, dan identitas anak mereka sesuai pilihan mereka. Orang tua yang memberikan perhatian dan perlindungan yang berlebihan kepada anaknya membuat mereka menjadi egois, manja, dan egois (Hurlock, 2014).

Diana Baumrind (Conger,J.J, 2011) membagi pola asuh  menjadi tiga kategori: otoriter, toleran, dan otoriter. Pengasuhan otoriter dikaitkan dengan  kemandirian yang rendah (Hurlock, 2014), dan pengasuhan demokratis (seperti  pengasuhan otoriter) secara aktif dikaitkan dengan kemandirian (Kandel & Lesser,  Santrock, 1969, 1996).  Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter menetapkan aturan yang sangat ketat tanpa menjelaskan aturan tersebut kepada anak-anaknya (Steinberg, 2002). Alih-alih mendorong kemandirian, orang tua melanggengkan ketergantungan anak mereka dengan membuat keputusan dan tidak memberi mereka kesempatan untuk  bertanggung jawab atas tindakan mereka. Mereka sering tidak mengizinkan anak untuk membuat keputusan sendiri (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Conger (2011) menyatakan bahwa pola asuh otoriter cenderung mengganggu kemandirian dan kemampuan untuk bergantung pada diri sendiri, membuat anak menjadi tergantung dan kurang percaya diri.  Pada pola asuh kedua, toleransi, orang tua tidak memberikan bimbingan yang memadai serta curiga dan cemas apakah anaknya telah melakukan hal yang benar (Dacey & Travers, 2012).

Kelola aktivitas Anda sebanyak mungkin dan pantau anak Anda (Dacey & Travers, 2012). Conger (2011) menyatakan bahwa hal itu tidak mendorong rasa tanggung jawab anak-anak. Anak-anak biasanya belum dewasa. Ini berarti bahwa anak-anak memiliki kemampuan paling sedikit untuk menyesuaikan diri dan memiliki kemampuan paling sedikit untuk bereksplorasi. Orang tua otoriter tertarik pada individualitas  dan  batasan sosial anak-anak mereka. Mereka membimbing dan menghormati keputusan, minat, pendapat, dan kepribadian anak-anak sementara mereka dapat dihukum bila diperlukan dalam  hubungan yang hangat dan mendukung (Shaffer, 2012).

 

Referensi:

Conger,J.J. (2011). Adolescent and youth:Psychology development in a charging world. New York: Harper Collins Publishers

Dacey & Travers (2012). Adolescent development and behaviour. New Jersey: Prentice Hall Inc.

Hurlock (2014). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga

Hurlock (2015). Perkembangan anak jilid 2. Jakarta: Erlangga

Shaffer.(2012).Child development.New York: Allyn&Bacon

Sumber gambar: indonesiancreative.id