Selasa, 09 Agustus 2022 13:07 WIB

Bernhardt-Roth Syndrome

Responsive image
1181
Prof. Dr. dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, Sp.BS(K - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

     Bernhardt-Roth syndrome (BRS) atau meralgia paraesthetica (MP) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan rasa kesemutan, mati rasa atau seringkali sensasi terbakar pada paha bagian luar. Nama kondisi ini diambil dari seorang ahli saraf berkebangsaan Jerman bernama Martin Bernhardt (1844–1915) yang pertama kali menggambarkan kondisi ini pada tahun 1878 dan seorang ahli saraf dari Rusia Bernama Vladimir Karlovich Roth (1848–1916) yang menciptakan istilah meralgia paraesthetica dalam buklet setebal 24 halaman. Meralgia berasal dari bahasa Yunani “meros” yang berarti paha, dan “algos” yang berarti nyeri. Insidennya diperkirakan 4 per 10.000 orang per tahun, dimana lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.

     Mekanisme terjadinya BRS adalah adanya penekanan atau terjepitnya saraf yang memberi aspek sensorik ke permukaan kulit paha bagian luar yakni saraf kutaneus femoralis lateralis. Penyebab BRS sangat bervariasi dan dapat dikategorikan menjadi dua yakni spontan dan iatrogenik. BRS spontan terjadi tanpa riwayat pembedahan sebelumnya dan dibagi menjadi idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) dan metabolik. Obesitas, kehamilan maupun kondisi lain yang terkait dengan peningkatan tekanan dalam rongga perut dapat menyebabkan BRS spontan. Sedangkan, BRS iatrogenik dapat merupakan komplikasi beberapa prosedur operasi seperti pembedahan tulang belakang, operasi pemotongan tulang panggul, laparoskopik untuk pengangkatan kandung empedu, reparasi HNP, dan miomektomi, pembuatan bypass arteri koroner, dan pembedahan katup aorta. Namun, faktor mekanik atau metabolik juga dapat terlibat pada BRS iatrogenik.

     Saraf kutaneus femoralis lateralis dapat mengalami cidera pada beberapa area sepanjang perjalanan anatominya. Daerah yang paling sering adalah saat saraf ini menembus atau menyilang ligamentum inguinale. Oleh karena itu, penggunaan ikat pinggang ketat, korset, dan celana ketat dapat memberikan tekanan langsung pada saraf ini, sehingga merupakan faktor risiko terjadinya BRS. Berdiri terlalu lama, duduk dengan paha diluruskan, berjalan jauh atau bersepeda terlalu lama juga dapat memicu timbulnya gejala BRS. Penyakit di dalam panggul, seperti tumor rongga perut, telah dilaporkan dapat menyebabkan BRS. Saraf ini juga dapat terjerat di daerah perut belakang atau saat masuk ke dalam fasia lata (suat struktur pembatas otot paha bagian luar). Faktor metabolik yang kemungkinan terlibat dalam BRS meliputi keracunan timbal, alkohol, dan diabetes melitus. Pada diabetes, terdapat dua teori yang menjelaskan bagaimana diabetes dapat menyebabkan BRS. Diabetes menyebabkan perubahan sekunder pada metabolisme mioinositol dan fosfoinositid yang menghasilkan kerusakan aktivitas Na-K-ATPase dimana hal ini diduga dapat menyebabkan gangguan fungsi saraf. Diabetes juga menyebabkan pembengkakan saraf akibat penurunan transpor aksoplasmik, sehingga menyebabkan saraf lebih rentan mengalami penekanan. Penggunaan simvastatin juga dilaporkan dapat menyebabkan BRS. Simvastatin menghambat dua enzim kunci pada respirasi mitokondria yakni dolichol dan ubiquinone yang selanjutnya menyebabkan kerusakan saraf.

     Meskipun diagnosis BRS dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja, diagnosis banding tetap perlu dipikirkan untuk mencari penyebab sesungguhnya sehingga tatalaksana yang tepat dapat dilakukan. Pemeriksaan elektrodiagnostik yang rutin dikerjakan untuk diagnosis BRS meliputi pemeriksaan sensory nerve action potential (SNAP) dan somatosensory-evoked potential (SSEP). Tanda-tanda bahaya (red flags) yang perlu diwaspadai adalah gejala klinis mirip BRS atau disebut “sindroma mirip BRS” yang dapat merupakan gejala dari penyakit serius seperti penyebaran tumor ganas pada krista iliaka dan herniasi diskus intervertebralis, dan appendisitis kronis. Oleh karena saraf kutaneus femoralis lateralis hanya memberikan fungsi sensoris (rasa raba, nyeri, panas, dingin), maka pada BRS tidak ditemukan adanya kelemahan motorik, pengecilan otot maupun hilangnya reflek sentakan lutut yang dapat ditemukan pada penyakit radikulopati lainnya seperti HNP. Pemeriksaan fisik berupa tanda Laseque memberikan hasil negative pada BRS.

     Sebagian besar BRS dapat ditangani dengan terapi konservatif tanpa pembedahan. Terapi konservatif dilakukan dengan memperbaiki gaya hidup yakni menurunkan berat badan pada penderita BRS yang mengalami obesitas serta menghindari penggunaan celana ketat. Riwayat trauma sebelumnya harus menjadi perhatian. Dapat dipertimbangkan pemakaian bantal pelindung di atas area saraf kutaneus femoralis lateralis untuk menghindari penekanan pada saraf tersebut. Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan terapi pilihan untuk mengurangi peradangan yang mungkin menyebabkan pembengkakan pada saraf. Antidepresan trisiklik,  obat antiepilepsi, dan antiaritmia dapat digunakan untuk mengatasi nyeri neuropatik. Obat-obatan topikal seperti krim kapsaikin dan lidokain juga dapat digunakan untuk mengurangi nyeri neuropatik dengan mengoleskan pada area nyeri. Terapi lain yang lebih invasif seperti blok saraf secara lokal menggunakan obat injeksi yang mengandung xylocaine dan kortikosteroid mungkin bermanfaat dalam mengurangi peradangan saraf yang bersifat lokal. Terapi bedah ditujukan kepada pasien  yang tidak membaik dengan pengobatan konservatif yang dibagi menjadi 3 kelompok: pasien dewasa dengan gejala kurang dari 1 tahun dan pasien anak-anak, pasien kelompok pertama dengan gejala menetap atau kambuh, dan pasien dewasa dengan gejala lebih dari 1 tahun. Terdapat 3 teknik dasar  pembedahan, yaitu neurolisis jaringan yang menyebabkan penyempitan, neurolisis dan transposisi saraf kutaneus femoralis lateralis, serta transeksi dan eksisi sebagian saraf kutaneus femoralis lateralis. Prognosis BRS tergantung pada penyebabnya. BRS yang disebabkan oleh cedera mekanis eksternal sering menghilang secara spontan. Namun, pada sebagian kasus, diperlukan pembedahan untuk menghilangkan nyeri dan memperbaiki kualitas hidup pasien.

 Referensi :

Bernhardt M. Ueber isoliert im Gebiete des N. cutaneus femoris externus vorkommende Paräesthesien. Neurologisches Centralblatt 189514242–244. [Google Scholar]

Grossman MG, Ducey SA, Nadler SS, Levy AS. Meralgia paresthetica: Diagnosis and treatment. J Amer Acad Orthopaed Surg. 2001;9:334-6.

Harney D, Patijn J. Meralgia paresthetica: Diagnosis and management strategies. Pain Med. 2007;8:669-77.

Ivins GK. Meralgia paresthetica, the elusive diagnosis clinical expertise with 14 adult patients. Ann. Surg. 2000;232:281-6.

Luzzio et al. Physical Medicine and Rehabilitation for Meralgia Paresthetica Follow-up. Medscape. 2021. Diakses dari https://emedicine.medscape.com/article/308199-followup.

Pearce JM. Meralgia paraesthetica (Bernhardt-Roth syndrome). J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2006 Jan;77(1):84. doi: 10.1136/jnnp.2005.072363. PMID: 16361600; PMCID: PMC2117390.

Roth W K.Meralgia paraesthetica. Berlin: Karger, 1895

Sasson M, Pesach S. Simvastatin-induced meralgia paresthetica. J Amer Board of Family Med. 2011;24:469-73

van Slobbe A M, Bohnen A M, Bernsen R M.et al Incidence rates and determinants in meralgia paresthetica in general practice. J Neurol 200425294–297. [PubMed] [Google Scholar]