Selasa, 09 Agustus 2022 12:06 WIB

Diagnosis dan Tatalaksana Obstruktif Sleep Apneu

Responsive image
7905
Dr.dr.Made Lely Rahayu, Sp.T.H.T.K.L(K) - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah kelainan yang merupakan bagian dari sleep disorder breathing syndrome yang kompleks. Sebenarnya gejala OSA sering terjadi namun sulit untuk dideteksi. Penyakit ini dapat terjadi 3-7% pria dan 2-5% wanita pada populasi umum.1 OSA merupakan gangguan tidur yang ditandai oleh gangguan pola napas selama tidur di mana terjadi henti nafas selama tidur yang berlangsung selama lebih dari 10 detik.2 Episode berhenti bernafas disebabkan oleh obstruksi parsial maupun menyeluruh pada saluran nafas bagian atas.3

OSA terjadi ketika otot-otot rileks selama tidur menyebabkan kelumpuhan jaringan lunak dan menghalangi jalan nafas atas yang kemudian menyebabkan pengurangan sebagian (hipopneas) dan jeda lengkap (apnea) bernafas yang berlangsung setidaknya 10 detik saat tidur. Episode ini biasanya disertai dengan dengkuran keras dan hipoksemia, dan biasanya diakhiri dengan terbangun secara berulang, yang menyebabkan fragmentasi tidur.4

Faktor penyebab OSA dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor struktural dan nonstruktural dimana kedua bagian itu didalamnya sudah termasuk faktor genetik. Kelainan struktural OSA berupa kelainan tulang kepala atau tulang pipi dan penyempitan hidung akan berdampak pada penyempitan aluran nafas atas. Etiologi nonstruktural dipengaruhi perubahan refleks neurologis yang mengontrol otot-otot pernafasan jalan nafas atas, distribusi jaringan lemak di leher, obesitas, kebiasaan merokok, serta alkoholisme.1,2

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa

1.    Nasolaringoskopi Statik dan Dinamik dengan Manuver Muller : Pemeriksaan endoskopi serat optik pada nasolaring dengan posisi duduk pada saat statik (istirahat) dan dinamik (manuver Muller) merupakan pemeriksaan untuk menentukan level obstruksi saluran napas atas. Level obstruksi harus diketahui untuk menentukan stadium OSA dan tindakan   pembedahan yang dapat dilakukan. Manuver Muller dilakukan pada level retropalatal, retroglosal dan supraglotik dengan meminta pasien menarik napas dengan kuat sambil menutup hidung dan mulutnya (reversed Valsava). Kekuatan inspirasi negatif akan menyebabkan kolaps saluran napas atas. Kolaps dapat terjadi pada bagian antero-posterior, latero-lateral maupun konsentrik (seluruh bagian). Klasifikasi berdasarkan skoring atau persentase ukuran kolaps level tertentu dapat dibagi menjadi: < 25%, 25-50%, 50-75%,>75%.

2.    Sleep Endoscopy : Nasolaringoskopi yang dilakukan pada kondisi sedasi (simulasi tidur) memungkinkan identifikasi obstruksi dan kolaps saluran napas atas dengan tonus otot yangmengalami relaksasi. Sedasi yang digunakan adalah titrasi propofol yang dilakukan oleh dokter spesialis anestesi dengan monitor ketat kardiorespirasi. Keadaan obstruksi saluran  napas atas yang dapat terlihat adalah palatal flutter, palatal floppy, obstruksi palatal dengan obstruksi orofaring intermiten, obstruksi multilevel memanjang, dan obstruksi dasar lidah.

3.      Polisomnografi : Merupakan standart baku emas dalam mendiagnosa OSA. Polisomnografi meliputi perekaman aliran udara, gerakan napas, EEG, EMG, EOG EKG, saturasi oksigen dan posisi badan. Idealnya Polisomnografi dilakukan dalam sebuah laboratorium tidur selama satu malam penuh dan dipantau oleh dokter/perawat. Hasil yang muncul adalah jumlah henti napas tiap jam, indeks apnea-hipoapnea (AHI).5,6

Diagnosis OSA ditegakkan jika apnea/hypopnea melebihi normal. Beberapa peneliti menggunakan batasan AHI >10 kali/jam untuk diagnosis OSA. American Academy of Sleep Medicine Task Force mendefinisikan OSA jika didapatkan AHI >5 kali/jam yang diikuti oleh salah satu gejala: (a) mengalami gangguan tidur, meningkatnya daya kantuk setiap hari, letih, atau insomnia, (b) sering terbangun akibat merasa tercekik, (c) saat tidur disertai dengkuran atau berhenti bernapas yang disampaikan oleh teman tidur.7

Tatalaksana OSA berupa medikamentosa, diet, pemakaian alat bantu dan operasi. Terapi   operatif dilakukan sesuai dengan level obstruksi masing-masing atau terapi kombinasi sesuai dengan derajat penyakit.

 

 

 

 

Referensi :

Lam, J.C.M., Sharma, S.K., Lam, B., Obstructive Sleep Apnoea: Definition, Epidemiology & Natural History. Indian J Med Res . 2010;131:165-170.

Iskandar J. Gangguan Tidur. Medan:Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara. 2012.

Chung, F.,Obstructive Sleep Apnea Patients: A Challenge for Anesthesiologist. International Anesthesia Research Society. 2010:68-76.

WHO.Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Pedoman. Interim WHO. Alih Bahasa: Trust Indonesia. Jakarta. 2007

Epstein, L.J., et al. Clinical Guideline for the Evaluation, Management and Long-term Care of Obstructive Sleep Apnea in Adult. Journal of Clinical Sleep Medicine . 2012; 5(3):263-276.

Gupta, R.K., Chandra, Verma, A.K., Kumar, S., Obstructive Sleep Apnoea:A Clinical Review. JAPI. 2015;58:438-441.

Thurtell, M.J., Bruce, B.B., Rye, D.B., Newman, N.J., Biousse, V., The Berlin questionnaire screens for obstructive sleep apnea in idiopathic intracranial hypertension. J Neuroopthalmol. 2011;31(4):316-319.