Senin, 08 Agustus 2022 12:01 WIB

Neurosifilis

Responsive image
4614
Prof. Dr. dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, Sp.BS(K - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Sifilis merupakan salah satu infeksi menular seksual (IMS) yang dapat menyebabkan komplikasi yang cukup parah misalnya infeksi otak (neurosifilis), jantung, dan kecacatan pada tubuh (guma). Penyakit ini disebabkan oleh spirochaete Treponema pallidum. Penularan sifilis dapat terjadi akibat hubungan seksual dengan penderita sifilis, namun dapat pula terjadi dari ibu kepada janin dalam kandungannya atau saat proses kelahiran melalui produk darah atau transfer dari jaringan tubuh yang telah tercemar. Tahapan penyakit sifilis dikategorikan sebagai primer, sekunder, laten, dan tersier. Penularan sifilis secara seksual terjadi selama 1-2 tahun pertama setelah terpapar (yaitu, selama tahap infeksi primer, sekunder dan laten awal). Risiko penularan dari ibu ke anak paling tinggi pada tahap primer dan sekunder, diikuti oleh sifilis laten dini. Risiko penularan berlanjut selama 4 tahun pertama setelah terpapar setelah itu risiko penularan secara vertikal menurun seiring waktu.

Neurosifilis merupakan komplikasi penyakit sifilis yang menyerang sistem saraf pusat. Komplikasi ini paling sering terjadi pada stadium sifilis tersier, namun dapat pula terjadi pada setiap tahap infeksi sifilis. Literatur sejarah menunjukkan bahwa sebanyak 15-40% dari individu yang terinfeksi sifilis namun tidak diobati akan mengembangkan sifilis tersier. Namun, data yang lebih baru menunjukkan sifilis tersier jarang ditemukan saat ini. Hal ini kemungkinan disebabkan efektifnya penggunaan antibiotik secara luas. Treponema pallidum hingga saat ini masih sensitif terhadap penisilin, suatu agen antimikroba yang dapat mengganggu sintesis dinding sel bakteri. Kabar baiknya, belum ada laporan kasus mengenai resistensi penisilin terhadap Treponema pallidum selama lebih dari 60 tahun terakhir. Meskipun demikian, penyakit ini tetap harus dipelajari guna mencegah komplikasi serius yang dapat terjadi.

Gejala neurofilis bervariasi. Pada stadium awal, neurosifilis dapat tidak bergejala atau bergejala ringan, tetapi bila tidak diobati dapat menyebabkan gangguan saraf yang serius seperti meningitis (radang selaput otak), kelumpuhan bahkan kematian. Bila terjadi meningitis, gejala yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, muntah, leher kaku, fotofobia, gangguan saraf kranial, dan mungkin kejang. Bila menyerang selaput otak beserta pembuluh darahnya, maka dapat menyebabkan trombosis atau pembekuan darah yang berujung pada kerusakan jaringan otak seperti yang terjadi pada stroke. Pembuluh darah pada tulang belakang juga dapat terinfeksi dan menyebabkan kejang (terutama pada kaki), kehilangan indera peraba, dan pengecilan massa otot rangka. Pada neurosifilis stadium akhir, infeksi telah mengenai jaringan otak, dimana hal ini dapat menyebabkan kelumpuhan pada tubuh, demensia, dan pengecilan massa otak. Gejala awal neurosifilis stadium akhir ini dapat berupa gangguan mood seperti lekas marah, perubahan kepribadian, perubahan kebiasaan tidur, dan pelupa. Gejala akhir dapat berupa mood yang labil, gangguan memori dan kognitif, kebingungan, delusi, dan kejang. Gangguan kejiwaan termasuk depresi, delirium, mania, dan psikosis juga dapat terjadi.

Untuk mendiagnosis neurosifilis, dapat dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal untuk mendapatkan cairan otak dan tulang belakang atau yang disebut dengan cairan serebrospinal (CSF) yang selanjutnya akan dianalisis. CSF tersebut diperiksa untuk menemukan dan mengukur kadar antibodi terhadap antigen spesifik Treponema pallidum. Terdapat pula pemeriksaan yang tidak invasif yang lebih disukai dan praktis seperti uji VDRL, yang kadang-kadang dilengkapi dengan tes penyerapan antibodi treponema berfluoresen (FTA-ABS).

Meskipun berbahaya, neurosifilis dapat dicegah dengan deteksi dini, pengobatan segera dengan antibiotik disertai dengan pengobatan pada pasangan seks yang telah terinfeksi sifilis (baik pada stadium primer, sekunder maupun laten awal).

 

 

 

 

 

 

 Referensi :

 

Daili SF, Indriatmi W, Wiweko SN, dkk. Pedoman Tata Laksana Sifilis Untuk Pengendalian Sifilis Di Layanan Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2013.

Tiecco G, Antoni MD, Storti S, et al. A 2021 Update on Syphilis: Taking Stock from Pathogenesis to Vaccines. Pathogens. 2021;10, 1364. doi.org/10.3390/pathogens10111364.

Suryani DPA dan Sibero HT. Syphilis. J Majority. 2014:3(7).

Peeling RW, Mabey D, Kamb ML, et al. Syphilis. Nat Rev Dis Primers.2017;3:17073. doi:10.1038/nrdp.2017.73

Rinandari U dan Sari EYE. Terapi Sifilis Terkini. CKD-290. 2020;47(9).

Ha T, Tadi P, Dubensky L. Neurosyphilis. [Updated 2021 Sep 29]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK540979/