Selasa, 02 Agustus 2022 09:02 WIB

Ensefalitis Herpes Simpleks

Responsive image
3608
Prof. Dr. dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M.Kes, - RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah

Peradangan atau inflamasi merupakan respons alami dari sistem kekebalan tubuh terhadap suatu cedera atau penyakit. Namun, bila berlebihan, efek dari peradangan dapat merusak jaringan tubuh yang sehat. Peradangan dapat terjadi di bagian tubuh manapun, salah satunya adalah otak. Ensefalitis adalah istilah yang digunakan untuk peradangan yang terjadi pada jaringan otak dengan manifestasi gejala disfungsi neurologis seperti sakit kepala, bicara pelo, amnesia, kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan fungsi sensorik, kejang, penurunan kesadaran hingga kematian, dimana gejala yang timbul tergantung dari lokasi dan luasnya peradangan yang terjadi. Pada 60%-70% kasus ensefalitis, penyebabnya tidak diketahui. Dari sebagian besar kasus ensefalitis yang penyebab spesifiknya berhasil diidentifikasi, 35% sampai 55% disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV).

Virus herpes simpleks yang terdiri dari dua jenis yakni virus herpes simpleks 1 (HSV-1) dan virus herpes simpleks 2 (HSV-2) merupakan bagian dari delapan virus herpes manusia (HHV). Virus herpes adalah virus DNA untai ganda besar yang dapat beradaptasi dengan baik pada tubuh manusia karena dapat menyebabkan infeksi yang berlangsung seumur hidup, namun jarang menyebabkan kematian, tetapi mudah menyebar antar individu. Ensefalitis yang disebabkan oleh HSV disebut dengan ensefalitis herpes simpleks. Ensefalitis HSV dapat menyerang manusia di berbagai usia dan tidak memandang jenis kelamin. Sayangnya, sebagian besar pasien dengan ensefalitis HSV tidak memiliki faktor risiko yang dapat diidentifikasi yang menyebabkan mereka rentan terhadap penyakit ini.

Patogenesis atau bagaimana proses terjadinya ensefalitis masih belum diketahui secara pasti. Invasi virus HSV pada sistem saraf pusat (SSP) kemungkinan merupakan hasil dari masuknya virus melalui hidung, kemudian menuju neuron bulbus olfaktorius dan terakhir menginfeksi otak di bagian parahipokampus dan korteks hipokampus. Sedangkan, dalam kasus ensefalitis akibat reaktivasi virus laten, virus mengalami reaktivasi di ganglion saraf trigeminal yang selanjutnya menyebar ke otak di bagian lobus frontal dan temporal melalui saraf tentorial. Patogenesis lain kemungkinan merupakan penyebaran virus di bagian tubuh lain ke otak melalui peredaran darah (hematogenus). Beberapa hasil otopsi pada mayat menunjukkan bahwa bagian dari genom HSV terdeteksi di otak dan jaringan batang otak pada individu yang tidak mengalami gejala apapun (asimtomatik) sewaktu mereka hidup. Namun, belum dapat dipastikan apakah ini merupakan indikasi adanya virus laten kompeten yang dapat mengalami reaktivasi sepenuhnya dalam SSP dan mampu menginduksi ensefalitis.

Diagnosa ensefalitis HSV ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien yang terbukti menderita ensefalitis HSV dari pemeriksaan biopsi biasanya memiliki riwayat gejala berupa perubahan kesadaran (97%), demam (90%), dan sakit kepala (81%). Gambaran radiologi otak pada pasien yang mengalami ensefalitis HSV umumnya tidak khas, namun lebih dari 90% pasien dengan penyakit ini memiliki gambaran kelainan pada pencitraan resonansi magnetik (MRI) yang tampak pada otak di bagian lobus temporal. Penggunaan teknik reaksi berantai polimerase (PCR) untuk memperkuat genom HSV dari cairan serebrospinal (CSF) atau cairan otak dan tulang belakang telah menjadi prosedur pilihan untuk menegakkan diagnosa ensefalitis HSV. Kombinasi dua pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga dapat mengurangi pemeriksaan biopsi otak yang lebih invasif. Meskipun jarang terjadi, ensefalitis HSV dapat menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi apabila pengobatan tidak diberikan segera. Hingga saat ini vaksin untuk mencegah infeksi primer dan komplikasi serius dari infeksi HSV masih terus dikembangkan. Namun, kabar baiknya, penggunaan antivirus asiklovir terbukti dapat menghambat replikasi virus dan mencegah perluasan penyakit ini pada otak, sehingga dapat mengurangi kematian hingga lebih dari 70%.

 

Referensi :

Bradshaw MJ dan Venkatesan A. Herpes Simplex Virus-1 Encephalitis in Adults: Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Neurotherapeutics (2016) 13:493–508. DOI 10.1007/s13311-016-0433-7.

Karsena H , Demirb C , Karahocagilc MK, et al.  Herpes simplex encephalitis. Eastern Journal of Medicine 15 (2010) 34-39.

Sabah M, Mulcahy J, dan Zeman A. Herpes simplex encephalitis. BMJ 2012;344:e3166. DOI: 10.1136/bmj.e3166.

Tyler K. Update on Herpes Simplex Encephalitis. Reviews In Neurological Diseases. 2004. VOL. 1 NO. 4.