Selasa, 30 Agustus 2022 10:28 WIB

Penyakit Asam Urat : Apakah berbahaya?

Responsive image
21887
Dr. dr. Rudy Hidayat, SpPD-KR - RSUP dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Asam urat adalah hasil proses metabolisme yang normal dihasilkan setiap individu dari pemecahan protein, terutama purin. Sumber purin yang akan dimetabolisme menjadi asam urat sebagian berasal dari makanan yang dikonsumsi (20%), tapi sebagian besar (>80%) adalah hasil metabolism sel yang terjadi terus-menerus sepanjang hari. Asam urat secara alamiah mempunyai peran yang sangat penting sebagai anti-oksidan, sehingga tetap perlu dipertahankan kadarnya di rentang normal dan tidak terlalu rendah. Beberap penelitian yang melihat efek kadar asam urat yang terlalu rendah terutama pada kelompok pasien usia lanjut, ternyata menyebabkan angka gangguan kognitif (demensia) yang lebih tinggi. Kadar asam urat ini dipertahankan di rentang normal yaitu dibawah 6,8 mg/dL, terutama oleh kemampuan ginjal untuk membuang kelebihan asam urat serum.

Pada pasien dengan penyakit asam urat (gout) berarti adanya peningkatan kadaar asam urat di atas normal, akibat peningkatan produksi atau akibat ganggaun pembuangan di ginjal. Akibat peningkatan kadar asam urat serum terjadi penimbunan kristal asam urat di jaringan terutama sendi dan jaringan ginjal atau saluran kencing (batu ginjal). Risiko dari penyakit gout terutama adalah serangan radang sendi yang berulang, hingga menimbulkan kerusakan sendi permanen dan kecacatan. Sedangkan risiko yang lain berkaitan dengan kemungkinan sumbatan saluran kencing akibat batu ginjal, dan/atau kerusakan jaringan ginjal yang permanen. Sebagai catatan bahwa tidak semua peningkatan kadar asam urat serum menimbulkan penyakit gout (tidak ada gangguan di sendi maupun ginjal), dan ini dikenal sebagai hiperurisemia asipmtomatik (tanpa gejala), yang belum perlu terapi dengan obat-obatan, kecuali diet rendah purin. Saat ini terdapat bukti juga (laporan penelitian) bahwa kadar asam urat yang tinggi juga meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, serta dengan penyakit-penyakit metabolik lain seperti kolesterol dan obesitas.

Pada kelompok pasien gout, dalam jangka panjang diperlukan diet rendah purin, kontrol berat badan seideal mungkin, juga diperlukan obat-obatan untuk mengontrol kadar asam urat serum di bawah batas normal. Konsumsi obat-obatan tersebut harus atas rekomendasi dokter, dikonsumsi teratur dan jangka panjang untuk mencegah kerusakan sendi dan ginjal.

Artritis gout merupakan salah satu crystal-induced arthritis yang disebabkan oleh deposisi kristal MSU (monosodium urate) pada persendian akibat hiperurisemia yang berlangsung kronik1. Prevalensi gout artritis cukup besar, di US mencapai 3,9%2, di Eropa mencapai 2,5%3. Sedangkan di Indonesia, penelitian di Bali oleh Putra dkk. menunjukkan prevalensi hiperurisemia mencapai 1,45%; lalu penelitian oleh Ahimsa dkk. menunjukkan angka prevalensi gout yang sangat tinggi pada etnis Sangihe di Minahasa Utara, yaitu sebesar 29,2%4. Secara umum, artritis gout lebih sering ditemukan pada jenis kelamin pria dibandingkan wanita, dan insidensinya akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Perjalanan penyakit artritis gout terbagi menjadi 4 tahapan, yaitu fase hiperurisemia asimtomatik, fase akut, fase interkritikal, dan fase kronik1,4. Pada fase hiperurisemia asimtomatik, tidak ditemukan keluhan pada pasien, tetapi didapatkan kadar asam urat serum yang tinggi. Berdasarkan pedoman dari ACR dan EULAR, hiperurisemia didefiniskan sebagai kadar asam urat serum yang lebih tinggi dari 6,8 mg/dl5,6. Kemudian pada fase gout akut, terjadi serangan episodik dengan manifestasi nyeri, pembengkakan, dan eritema, umumnya bersifat monoartikular dan sering ditemukan pada persendian metatarsophalangeal 1 (MTP 1). Fase ini memuncak dalam waktu <24 jam, lalu akan mengalami resolusi maksimal dalam waktu 14 hari. Serangan gout akut (flares) dapat terjadi berulang, umumnya serangan kedua dapat terjadi dalam 6 bulan hingga 2 tahun sejak serangan pertama. Pada interval antarserangan ini, terdapat masa asimtomatik. Fase di antara serangan-serangan gout akut ini disebut sebagai fase interkritikal. Pengobatan artritis gout yang tidak diobati dengan baik akan berlanjut ke fase kronik, di mana sudah terdapat deformitas sendi dan tophus pada pasien. 4

Perhimpunan Reumatologi Indonesia pada tahun 2018 mengeluarkan rekomendasi untuk menegakkan diagnosis artritis gout yang diadaptasi dari kriteria ACR/EULAR. Pada alur penegakan diagnosis ini, terdapat 3 tahapan kriteria. Pada kriteria awal, minimal perlu didapatkan adanya 1 episode bengkak, nyeri pada sendi perifer atau bursa. Pada kriteria cukup, diagnosis gout dapat ditegakkan bila ditemukan kristal MSU pada sendi atau bursa yang terlibat (misalnya cairan sinovial) atau tofus. Bila kriteria cukup sudah terpenuhi, maka tidak perlu dilanjutkan ke kriteria berikutnya, yaitu kriteria klasifikasi.

Penatalaksanaan dari artritis gout disesuaikan dengan fase dari penyakitnya. Pada hiperurisemia asimtomatik, dapat dilakukan modifikasi gaya hidup, yang mencakup4:

Penurunan berat badan hingga berat badan ideal

Menghindari konsumsi alkohol, minuman yang mengandung gula pemanis buatan (fruktosa, corn syrup), makanan berkalori tinggi, daging merah, dan seafood berlebihan

Latihan fisik teratur, 3-5 kali/minggu, selama 30-60 menit/kali

Penggunaan obat penurun asam urat tidak dianjurkan pada pasien dengan hiperurisemia asimtomatik, dengan pertimbangan keamanan, efektivitas, dan biaya yang diperlukan.

Referensi:

1. Hochberg MC, Gravallese EM, Silman AJ, S SJ, Weinblatt ME, Weisman MH. Rheumatology. 7th editio. Philadelphia: Elsevier Inc; 2019. 1591–1620 p.

2. Chen-Xu M, Yokose C, Rai SK, Pillinger MH, Choi H. Contemporary Prevalence of Gout and Hyperuricemia in the United States and Decadal Trends: The National Health and Nutrition Examination Survey 2007-2016. Arthritis Rheumatol. 2019;71(6):991–9.

3. Kuo CF, Grainge MJ, Mallen C, Zhang W, Doherty M. Rising burden of gout in the UK but continuing suboptimal management: A nationwide population study. Ann Rheum Dis. 2015;74(4):661–7.

4. Pedoman Diagnosis dan Pengelolaan Gout. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia; 2018.

5. FitzGerald JD, Dalbeth N, Mikuls T, Brignardello-Petersen R, Guyatt G, Abeles AM, et al. 2020 American College of Rheumatology Guideline for the Management of Gout. Arthritis Care Res. 2020;72(6):744–60.

6. Richette P, Doherty M, Pascual E, Barskova V, Becce F, Castaneda J, et al. 2018 updated European League against Rheumatism evidence-based recommendations for the diagnosis of gout. Ann Rheum Dis. 2020;79(1):31–8.

7. Richette P, Doherty M, Pascual E, Barskova V, Becce F, Castañeda-Sanabria J, et al. 2016 updated EULAR evidence-based recommendations for the management of gout. Ann Rheum Dis. 2017;76(1):29–42.

8. Lee Y, Hwang J, Desai SH, Li X, Jenkins C, Kopp JB, et al. Efficacy of Xanthine Oxidase Inhibitors in Lowering Serum Uric Acid in Chronic Kidney Disease: A Systematic Review and Meta-Analysis. J Clin Med. 2022;11(9):1–13.

9. Mackenzie IS, Ford I, Nuki G, Hallas J, Hawkey CJ, Webster J, et al. Long-term cardiovascular safety of febuxostat compared with allopurinol in patients with gout (FAST): a multicentre, prospective, randomised, open-label, non-inferiority trial. Lancet. 2020;396(10264):1745–57.