Rabu, 27 September 2023 11:58 WIB

Kemenkes dan BRIN Lakukan Simulasi Kegawatdaruratan Bencana Nuklir

Responsive image
ANT - Sekretariat Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan
205

Yogyakarta(26/9)-Kementerian kesehatan melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan melakukan simulasi kegawatdaruratan bencana nuklir. Simulasi kegawatdaruratan ini merupakan kerjasama antara Kemenkes dan BRIN dalam mengantisipasi bencana nuklir. Simulasi yang berlangsung di Kawasan Sains dan Edukasi (KSE) Achmad Baiquni Yogyakarta dan RSUP. dr Sardjito ini diikuti oleh berbagai pemangku kepentingan lintas sektor seperti BAPETEN, BRIN, PSC 119, Dinas Kesehatan dan Perhimpunan Organisasi Profesi.

Menurut koordinator Instruktur Simulasi Kegawatdaruratan Bencana Nuklir RSUP dr. Sardjito, Andreas Dewanto kegiatan ini ditujukan agar tenaga kesehatan memahami prosedur dan petunjuk teknis saat melakukan tindakan penanganan medis pada pasien radiasi nuklir, pengendalian bahaya radiasi nuklir, dan dekontaminasi radiasi nuklir.

“Kemudian petugas kesehatan juga harus mengetahui standar proteksi diri atau alat pelindung diri yang harus digunakan dalam menghadapi pasien yang diduga terkontaminasi radiasi,” tambah Andreas Dewanto.

Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam Simulasi Kegawatdaruratan Bencana Nuklir ini adalah APD tenaga kesehatan, alat monitoring radiasi, dan setting ruangan IGD yang dapat digunakan untuk proses dekontaminasi.

Andreas Dewanto menyebutkan setidaknya ada tiga zona yang perlu diterapkan saat tenaga kesehatan melakukan penanganan pasien dengan paparan nuklir baik di lokasi bencana maupun di IGD. tiga zona tersebut terdiri dari hot zone, warm zone, dan cold zone. Hot zone atau zona panas adalah area yang paling tinggi perannya yaitu area untuk pasien dengan radiasi yang baru masuk IGD atau baru tiba di RS. Warm zone atau zona hangat yaitu area dimana dilakukan proses tindakan dan proses dekontaminasi pada pasien sehingga level paparan radiasi terhadap pasien lebih rendah. Cold zone atau zona dingin adalah area dimana pasien sudah terdekontaminasi sehingga dinyatakan aman. Ketiga zona tersebut harus menjadi perhatian dan diterapkan tenaga kesehatan pada kondisi darurat nuklir saat melakukan assessment klinis maupun monitoring radiasi baik dalam kondisi prehospital maupun saat pasien diterima di rumah sakit.

Setiap pertukaran zona, tenaga kesehatan harus melakukan assessment mandiri melalui personal dosimeter atau alat ukur serapan radiasi yang dibekali kepada setiap petugas. Setiap petugas kesehatan juga harus melakukan dekontaminasi mandiri sebelum berpindah ke zona dengan paparan radiasi yang lebih rendah.

“Jadi setiap petugas dibekali personal dosimeter, yaitu alat untuk mengukur seberapa banyak petugas itu sudah terpapar (radiasi), jadi kalau sudah banyak terpapar harus diganti dengan petugas lain. ”

Selain itu, kegiatan Simulasi kegawatdaruratan Bencana Nuklir ini juga membahas tentang Hospital Disaster Plan atau rencana kontingensi yang memuat berbagai hal yang perlu dipersiapkan rumah sakit dalam menghadapi kegawatdaruratan bencana nuklir mulai dari bagaimana mempersiapkan sumber daya tenaga kesehatan, bagaimana menerima dan menganalisis informasi insiden bencana, bagaimana melakukan aktivasi tim, bagaimana mempersiapkan sumber daya logistik dengan cepat, dan bagaimana alur prosedur untuk tatalaksana pasien dengan cedera disertai atau tanpa disertai kontaminasi.

Menurut Koordinator K3 KSE Achmad Baiquni Yogyakarta Mahrus Salam, Indonesia sendiri memiliki tiga reaktor nuklir di tiga lokasi yang berbeda yaitu reaktor TRIGA 2000 di Bandung, reaktor G.A. Siwabessy di Serpong Tangerang, dan RA Kartini atau Reaktor Atom Kartini di Yogyakarta yang berada di kawasan KSE Achmad Baiquni.
“Untuk kapasitas yang paling besar di serpong ada 30 megawatt, kemudian di bandung kapasitas maksimumnya 2 megawatt, sementara untuk di Yogyakarta 100 kilowatt.”

Menurut Mahrus Salam meski Yogyakarta memiliki kapasitas paling rendah, dan memiliki bahaya nuklir kelas tiga, simulasi dan latihan kegawatdaruratan tetap wajib dilakukan untuk mengantisipasi berbagai resiko akibat radiasi nuklir.